IMLEK BAGI MUSLIM TIONGHOA: HALAL


IMLEK BAGI MUSLIM TIONGHOA: HALAL

ARTIKEL

Disusun untuk Memenuhi Tugas
Mata Kuliah: Metodologi Studi Islam
Dosen: Syamsul Ma’arif, M.Ag.      








                                                                                          





Oleh :
ROFIQO RAHMAWATI (093511033)


FAKULTAS TARBIYAH
INSTITUT AGAMA ISLAM NEGERI WALISONGO SEMARANG
2011


Di belahan manapun, bangsa Tiongkok selalu mengadakan perayaan Imlek, tak terkecuali di Indonesia. Tak sedikit warga Tionghoa Indonesia, termasuk muslim Tionghoa, yang merayakannya.
Namun, dalam kehidupan Islam, perayaan Imlek masih saja menjadi momen yang diperdebatkan hukumnya. Imlek mengundang pro dan kontra. Ada yang menyatakan halal namun ada juga yang menyatakan haram. Hukum tersebut berlaku baik bagi muslim non Tionghoa maupun Tionghoa. Bagi yang pro, menyatakan Imlek hanyalah bagian tradisi budaya leluhur. Sedangkan, bagi yang kontra, menyatakan Imlek adalah bagian integral dari ajaran agama Kong Hu Cu (KHC).
Sampai saat ini, di Indonesia perdebatan di atas belum menemui titik terang. Bahkan, fatwa yang jelas dari Majelis Ulama Indonesia (MUI) pun belum ada. Lantas, apakah sejatinya Imlek itu? Bolehkah Muslim Tionghoa  merayakannya?
Versi Imlek sebagai budaya sebenarnya mengacu pada literatur China. Konon warga Tionghoa sudah merayakan Imlek secara turun temurun sejak ribuan tahun lalu sebagai perayaan para petani pada musim semi. Sedangkan, versi Imlek sebagai bagian integral agama KHC salah satunya mengacu pada buku berjudul Mengenal Hari Raya Konfusiani yang ditulis Hendrik Agus Winarso. Ia menyebutkan bahwa masyarakat memang kurang memahami Hari Raya Konfusiani dengan mengatakan,”Misalnya Tahun Baru Imlek dianggap sebagai tradisi orang Tionghoa.”[1]
Dalam buku yang diberi kata sambutan oleh Ketua MATAKIN tahun 2000 Hs. Tjhie Tjay Ing itu, Hendrik Agus Winarso telah membuktikan dengan meyakinkan bahwa Imlek adalah bagian ajaran Khonghucu. Hendrik Agus Winarso menerangkan, Tahun Baru Imlek atau disebut juga Sin Cia, merupakan momentum untuk memperbarui diri. Momentum ini, katanya, diisyaratkan dalam salah satu kitab suci Khonghucu, yaitu Kitab Lee Ki, bagian Gwat Ling, yang berbunyi :
“Hari permulaan tahun (Liep Chun) jadikanlah sebagai Hari Agung untuk bersembahyang besar ke hadirat Thian, karena Maha Besar Kebajikan Thian. Dilihat tiada nampak, didengar tiada terdengar, namun tiap wujud tiada yang tanpa Dia…” (Tiong Yong XV : 1-5).
Penulis buku tersebut lalu menyimpulkan Imlek adalah bagian ajaran Khonghucu, dengan menegaskan,”Dengan demikian, menyambut Tahun Baru bagi umat Khonghucu Indonesia mengandung arti ketakwaan dan keimanan.”[2]
Jika dikaji lebih lanjut, secara etimologi, kata Imlek merupakan dialek Fujian yang berasal dari dua suku kata, yaitu Im = Bulan dan Lek = penanggalan. Akibatnya, Imlek berarti penanggalan yang dihitung berdasarkan peredaran bulan. Jadi, berbeda perhitungan dengan penanggalan Yanglek/ Masehi yang dihitung berdasarkan peredaran Matahari, Yang = Matahari.[3]
Sebenarnya penanggalan Tionghoa dipengaruhi oleh 2 sistem kalender, yaitu sistem Gregorian dan sistem Bulan-Matahari, dimana satu tahun terbagi rata menjadi 12 bulan sehingga tiap bulannya terdiri dari 29 ½ hari. Dalam penanggalan ini juga dikenal istilah Tian Gan dan Di Zhi yang merupakan cara unik dalam membagi tahun-tahun dalam hitungan siklus 60 tahunan. Masih ada lagi hitungan siklus 12 tahunan, yang kita kenal dengan “Shio”, yaitu Tikus, Sapi, Macan, Kelinci, Naga, Ular, Kuda, Kambing, Monyet, Ayam, Anjing, Babi.[4]
Selain dari pembagian di atas, dalam penanggalan Tionghoa juga masih dilengkapi dengan pembagian 24 musim yang amat erat hubungannya dengan perubahan-perubahan yang terjadi pada alam sehingga pembagian musim ini terbukti amat berguna bagi pertanian dalam menentukan saat tanam maupun saat panen. Diantaranya adalah musim semi, hujan, dan serangga.[5]
Hari pertama pada musim semi adalah hari perayaan tahun baru. Perayaan ini lah yang disebut Imlek. Konon, hari Imlek itu ditetapkan oleh seorang Kaisar pada zamannya sebagai perwujudan rasa syukurnya kepada Tuhannya karena ia dan rakyatnya terbebas dari masa-masa sulit.  Kala itu di Tiongkok sedang mengalami musim salju yg berkepanjangan, sekitar 3 tahun lamanya, dan menyebabkan kelaparan yang diiringi dengan kematian di mana-mana. Kemudian, setelah masa sulit itu berlalu, hasil tanam petani dapat dipanen untuk yang pertama kalinya sehingga Kaisar membuat "Pesta Rakyat" yang diambil pada "Musim Semi".
Selain Imlek, ada sebutan lain untuk memperingati perayaan musim semi itu, yaitu Yin Li, Teth, dan Anno Confuciani. Penyebutan Yin Li dan Teth tidak menimbulkan pro dan kontra. Ha ini disebabkan keduanya sama-sama didasarkan pada perhitungan lunar/ bulan tanpa dikaitkan dengan suatu apa pun. Penyebutan tersebut sebenarnya hanyalah perbedaan dialek/ bahasa saja. Yin Li untuk dialek Mandarin dan Teth untuk bahasa Vietnam.[6]
Akan tetapi, untuk penyebutan Anno Confuciani didasarkan oleh perhitungan lunar/bulan yang ditetapkan Han Wu Di[7] berdasarkan tahun kelahiran Konfusius/ KHC yang jatuh pada tahun 551 SM.[8] Akibatnya, terkadang oleh para sarjana barat Imlek dikenal dengan istilah Anno Confuciani karena berdasarkan perhitungan tahun kelahirannya Konfusius (Sima Qian, The Great History/Shi Ji).[9]
Padahal, ada sumber yang menyebutkan bahwa perayaan Imlek sudah ada sejak zaman dinasti Xia (2100-1600 SM). Dinasti itu didirikan oleh Yu The Great, yang merupakan penyelamat banjir ketika Cina dilanda air bah. Zaman Xia itu jaraknya 1500 tahun dari zamannya Kongzi (Konfusius). Akibatnya, tahun baru Imlek itu tidak ada kaitannya dengan Konfusius. Hari lahir Konfusius sendiri adalah pada tanggal 28 September 551 SM, atau tanggal 27 bulan 8 penanggalan Imlek. [10]
Uraian di atas, secara tidak langsung telah menyiratkan bahwa Imlek adalah bagian dari tradisi budaya leluhur bukan bagian integral agama KHC, meskipun menurut sejarah secara umum dan kenegaraan disebutkan perayaan Imlek/ Yin Li/ Teth/ Anno Confuciani dimulai pada zaman Dinasti Han.  Adapun Klaim tahun baru Imlek sebagai hari raya bagi umat KHC bisa jadi perwujudan dari politisir agama, terutama di Indonesia. Karena, sebuah agama agar dapat eksis secara dejure, terutama di Indonesia, harus diakui. Untuk mendapatkan pengakuan tersebut, sebuah filosofi harus memiliki definisi agama dalam segi pandang pemerintah. Kerangka yang diambil sebagai frame agama adalah agama Islam sebagai mayoritas. Jadilah sebuah agama itu harus mempunyai kitab suci, nabi, hari raya, tempat ibadah. Kalau kurang salah satu, gugurlah syarat untuk menjadi sebuah agama.
Jika pun tahun baru Imlek diklaim sebagai hari raya oleh umat beragama tertentu, tidak otomatis tahun baru itu menjadi milik mereka. Hal inilah yang seharusnya dicamkan oleh umat beragama yang lain. Jadi, tidak berarti bahwa jika satu pihak mengklaim lalu pihak lain tidak boleh menggunakannya. Analoginya adalah  jika tiba-tiba saja agama A memutuskan untuk mengklaim tahun baru 1 Januari sebagai hari raya mereka, apakah kita lantas harus mengikat 1 Januari tersebut pada agama tersebut? Tidak bukan, karena klaim tadi tidak akan menyebabkan universalitas 1 Januari sebagai tahun baru (pergantian tahun).
Jadi, Imlek adalah sebuah tradisi yang universal. Adapun makna Imlek yang sebenarnya adalah ucapan syukur kepada Tuhan atas berkat dan rahmat-Nya yang telah diberikan kepada umat manusia sepanjang tahun, yang direpresentasikan dalam momentum yang disebut Imlek. Oleh karena itu, perayaan Imlek sudah semestinya diperingati oleh semua masyarakat Tionghoa, meskipun diwujudkan dalam bentuk yang berbeda-beda, mengingat betapa pluralisnya keberagamaan masyarakat Tionghoa.[11]
Dalam Islam, terutama pada kajian ushul fikih ada istilah yang disebut dengan ‘urf. ‘Urf  adalah sesuatu yang telah dikenal oleh masyarakat secara umum dan menurut kebiasaan di kalangan mereka baik berupa perkataan maupun perbuatan. Di tinjau dari segi diterima tidaknya, ‘urf  di bagi menjadi dua. Pertama, urf  shahih, yaitu ‘urf yang baik dan dapat diterima karena tidak bertentangan dengan syara’. Kedua, ‘urf fasid, ‘urf  yang tidak baik dan tidak dapat diterima karena bertentangan dengan syara’. Adapun salah satu kaidah ‘urf adalah Al-’adatu Mahakkamah (Adat kebiasaan itu dapat ditetapkan sebagai hukum).[12]
Jika di amati lebih lanjut, Imlek termasuk ‘urf shahih. Imlek disebut ‘urf karena merupakan tradisi yang universal dan disebut shahih karena perayaannya boleh diwujudkan dalam bentuk yang berbeda-beda sesuai keyakinan masing-masing. Hal inilah yang menjamin Imlek tidak bertentangan dengan syara’ Islam karena tidak ada larangan Tionghoa muslim merayakan Imlek sesuai dengan syari’at Islam. Jadi, Tionghoa muslim boleh merayakan Imlek dengan catatan sesuai dengan syari’at Islam.
Oleh karena itu, melalui tulisan ini, penulis juga ingin memberikan apresiasi yang setinggi-tingginya kepada Presiden Indonesia yang ke-IV, Abdurrahman Wahid atau Gus Dur, yang telah mencabut inpres[13] yang memarginalkan etnis Tionghoa di segala bidang sehingga keberadaan ritual-budaya etnis Tionghoa selama masa Orde Baru selalu terdiskreditkan dari masyarakat umum dan selanjutnya mengeluarkan Keppres RI No. 6/2000.[14] Lewat Keppres itulah Gus Dur tidak hanya mampu memberikan kebebasan bagi etnis Tionghoa untuk merayakan Imlek di bumi khatulistiwa ini akan tetapi yang lebih penting ia dapat mengalirkan udara kesadaran multikulturalisme bangsa Indonesia. Apalagi pada saat itu—bahkan  hingga kini—konflik antargolongan di negeri ini masih saja terus bergejolak dan tampaknya enggan berakhir. Diantaranya adalah diskriminasi terhadap jamaah Ahmadiyah adalah bukti nyata betapa realitas multikulturalisme masih diwarnai dengan delik kekerasan.














[1] Hendrik Agus Winarso, Mengenal Hari Raya Konfusiani, (Semarang : Effhar & Dahara Prize, 2003), hlm. vi-vii
[2] Ibid., hlm. 58-62
[4] http://www.tionghoa.com/71/perayaan-tahun-baru-imlek/, diakses 2 Mei 2011, pukul 07.30 WIB.
 [5] Ibid.

[7] Kaisar pertama pada zaman Dinasti Han (sekitar 206SM-220M) yang merupakan keturunan dari Liu Bang, (orang yang berhasil menumbangkan dinasti Qin yang tirani 221 SM-207 SM). Ia juga seorang Konfusianis sejati, yang saking sejatinya dia sampai-sampai memakai konsep Konfusianisme dalam menjalankan segenap pemerintahannya. Walhasil, jalan yang diambilnya tidaklah salah sebab dinasti Han-lah yang paling sukses dan berhasil dalam sejarah dinasti mana pun di Cina. Dinasti Han juga merupakan dinasti terlama dalam peradaban bangsa Cina, bahkan sampai sekarang pun hampir semua orang Cina merasa sangat bangga jika disebut sebagai orang Han.
[8] Tahun ini Imlek sudah mencapai tahun yang ke 2562, perhitungan tersebut didapat dari penjumlahan tahun kelahiran Confucius yang jatuh pada 551 SM dengan angka tahun Masehi yang jatuh pada yang ke 2011, 551 + 2011 = 2557.
[10] Ibid.
[11] Keyakinan masyarakat Tionghoa tidak hanya KHC saja melainkan ada juga yang Hindhu, Budha, bahkan Islam. Lihat Charles A. Coppel, Tionghoa Indonesia dalam Krisis, (Jakarta: Pustaka Sinar Harapan, 1994), hlm. 21-70.
[12] Muin Umar, dkk., Ushul Fiqh, (Jakarta:Proyek Pembinaan Prasarana dan Sarana perguruan Tinggi Agama/ IAIN Jakarta, 1985), hlm. 150-151
[13] Inpres Nomor 14 Tahun 1967 yang isinya pemerintah Indonesia membekukan semua kegiatan keagamaan, kepercayaan, dan adat-istiadat Tionghoa di Indonesia, termasuk Imlek. Akses  http://www.mappel.org/instruksi-kepresidenan/tahun-1966-1997/view-category?mosmsg=You+are+trying+to+access+from+a+non-authorized+domain.+%28www.google.co.id%29.
[14]  http://www.menkokesra.go.id/node/265, diakses 2 Mei 2011, pukul 08.30 WIB.

DAFTAR PUSTAKA


Coppel, Charles A.1994.Tionghoa Indonesia dalam Krisis.Jakarta: Pustaka Sinar Harapan.

Umar, Muin dkk.1985.Ushul Fiqh.Jakarta:Proyek Pembinaan Prasarana dan Sarana perguruan Tinggi Agama/ IAIN Jakarta.

Winarso, Hendrik Agus.2003.Mengenal Hari Raya Konfusiani, (Semarang : Effhar & Dahara Prize.

http://forum.budaya-tionghoa.net/viewtopic.php?f=18&t=82, diakses 2 Mei 2011, pukul 07.15 WIB.



http://www.menkokesra.go.id/node/265, diakses 2 Mei 2011, pukul 08.30 WIB.

http://www.tionghoa.com/71/perayaan-tahun-baru-imlek/, diakses 2 Mei 2011, pukul 07.30 WIB.