HADIS SHAHIH DAN HADIS HASAN


HADIS SHAHIH DAN HADIS HASAN


MAKALAH

Disusun untuk memenuhi tugas Ulumul Hadis
Dosen Pembimbing: Darmuin, M.Ag.

Oleh :
NUR KHASAN (093511030)
NUR SAIFI (0935110231)
NURUL HUDA (093511032)
ROFIQO RAHMAWATI (093511033)
ROHMAWATININGSIH (093511034)
SEPTI DINI LESTARI (093511035)


INSTITUT AGAMA ISLAM NEGERI WALISONGO SEMARANG
FAKULTAS TARBIYAH
2010


HADIS SHAHIH DAN HADIS HASAN

I.          PENDAHULUAN
Hadis adalah sumber ajaran Islam kedua, setelah Alquran. Dari segi periwayatannya hadis ada yang disampaikan secara mutawatir dan non-mutawatir (masyhur dan ahad). Namun, kenyataannya hadis yang disampaikan secara non-mutawatir (masyhur dan ahad) jumlahnya lebih banyak dari pada hadis yang disampaikan secara mutawatir. M. Syuhudi Ismail dalam bukunya Kaedah Kesahihan Sanad Hadis menyatakan bahwa periwayatan hadis terbanyak berlangsung secara ahad.[1]
Terkait dengan kehujjahannya maka dilakukan penelitian terhadap hadis non-mutawatir tersebut agar dapat diketahui kualitas dari sebuah hadis. Sehingga dapat ditentukan hadis yang maqbul dan mardud. Diantara hadis yang maqbul adalah hadis shahih dan hadis hasan. Sebenarnya, apakah hadis shahih dan hadis hasan itu sendiri? Bagaimana pebedaan diantara keduanya?

II.       RUMUSAN MASALAH
Berdasarkan pemaparan di atas, diperoleh rumusan masalah sebagai berikut:
a.          Apakah yang dimaksud dengan hadis shahih dan hadis hasan itu?
b.         Apa sajakah persyaratan hadis shahih dan hadis hasan dan bagaimana perbedaan diantara keduanya?
c.          Apa  macam-macam hadis shahih dan hadis hasan?
d.         Bagaimana kehujjahan hadis shahih dan hadis hasan?

III.    PEMBAHASAN
A.    Pengertian Hadis Shahih dan Hasan
i.        Pengertian Hadis Shahih
Shahih menurut lughat, adalah lawan dari kata saqiem (sakit). Kata shahih berasal dari kata shahha, yashihhu, shuhhan wa shihhatan wa shahahan, yang berarti yang sehat, yang selamat, yang benar, yang sah, dan yang sempurna.[2]
Sedangkan secara istilah, para ulama telah memberikan definisi hadis shahih yang telah diakui dan disepakati kebenarannya oleh para ahli hadis, yaitu sebagai berikut:
اَلْحَدِيْثُ الصَّحِيْحُ هُوَ اْلحَدِيْثُ الَّذِي اتَّصَلَ سَنَدُهُ بِنَقْلِ اْلعَدْلِ الضَّابِطِ عَنِ االْعَدْلِ الضَّابِطِ اِلَى مُنْتَهَاهُ وَلاَ يَكُوْنُ شاَذًّا وَلاَ  مُعَلَّلاً
Artinya: “Hadis shahih adalah hadis yang bersambung sanadnya, yang diriwayatkan oleh rawi yang adil dan dhabit dari rawi yang (juga) adil dan dhabit sampai akhir sanad, dan hadis itu tidak janggal serta tidak mengandung cacat (illat).”[3]

Dari definisi di atas, dapat dinyatakan bahwa hadis shahih adalah hadis yang sanad-nya besambung sampai kepada Nabi, seluruh periwayatnya adil dan dhabit, terhindar dari syadz dan ‘illat.
Pengertian hadis shahih di atas telah mencakup sanad dan matan hadis. Kriteria yang menyatakan bahwa rangkaian periwayat dalam sanad harus bersambung dan seluruh periwayatnya harus adil dan dhabit adalah kriteria untuk keshahihan sanad, sedang keterhindaran dari syudzudz dan ‘illat, selain merupakan kriteria untuk keshahihan sanad, juga kriteria untuk keshahihan matan hadis. Karenanya, ulama hadis pada umumnya menyatakan bahwa hadis yang sanad-nya shahih belum tentu matan-nya juga shahih. Demikian pula sebaliknya, matan yang shahih belum tentu sanad-nya juga shahih. Jadi, keshahihan hadis tidak hanya ditentukan oleh keshahihan sanad saja, melainkan juga ditentukan oleh keshahihan matan-nya.[4]

ii.      Pengertian Hadis Hasan
Hasan secara bahasa artinya:
 مَا تَمِيْلُ اِلَيْهِ النَّفْسُ وَترْتَاحُ اِلَيْهِ
 Artinya: Yang dirindui nafsu dan yang disenanginya.[5]
Mengenai pengertian secara istilah oleh Al-hafidz dalam Nukhbatul Fikar memberikan definisi sebagai berikut:
  مَا نَقَلَهُ عَدْلٌ قَلِيْلُ الضَّبْطِ مُتَّصِلٌ مُسْنَدٌ غَيْرُ مُعَلَّلٍ وَلاَشَاذٍّ
Artinya: “Hadis yang dinukilkan oleh orang yang adil yang kurang kuat ingatannya, yang muttasil (yang bersambung-sambung sanadnya) yang musnad jalan datangnya (sampai kepada nabi SAW) yang tidak cacat dan tiada mempunyai keganjilan.[6]
Adapun at-Turmudzi, sebagai ulama yang memopulerkan istilah ini mendefinisikan hadis hasan sebagai berikut:
 كُلُّ حَدِيْثٍ يُرْوَى لاَ يَكُوْنُ فىِ اِسْنَادِهِ مَنْ يُتَّهَمُ باِالْكَذِبِ وَلاَ يَكُوْنُ الْحَدِيْثُ شاَذًّا وَيُرْوَى مِنْ َغيْرِ وَجْهِ نَحْوِ ذَلِكَ
Artinya: “Tiap-tiap hadis yang pada sanadnya tidak terdapat perawi yang tertuduh dusta (pada matannya) tidak ada kejanggalan (syadz) dan (hadis tersebut) diriwayatkan pula melalui jalan yang lain.[7]
Di masa Imam al-Bukhari, Imam Muslim, dan imam-imam sebelumnya, nilai hadis itu ada dua. Yang maqbul disebut shahih, dan yang mardud disebut dha’if. Jadi, ketika itu, nilai hadis itu kalau tidak shahih ya dha’if. Tetapi sebenarnya ada hadis yang kalau disebut dha’if rasanya tidak pas, kalau disebut shahih rasanya juga kurang tepat. Maka oleh al-Tirmidzi, hadis semacam ini disebut hadis hasan (baik). [8]

B.     Persyaratan Hadis Shahih dan Hasan serta Perbedaan antara Keduanya
i.     Syarat-Syarat Hadis Shahih
Dari pengertian hadis shahih secara umum, terdapat lima syarat yaitu:[9]


a.       Sanad bersambung
Dalam pembahasan ini yang dimaksud dengan sanad bersambung ialah tiap-tiap periwayat dalam sanad hadis menerima riwayat hadis dari periwayat hadis sebelumnya sampai periwayat terakhir dan tidak terputus. Para ulama dalam meneliti bersambung atau tidaknya suatu sanad menempuh cara sebagai berikut:
·      Mencatat semua nama periwayat dalam sanad yang diteliti.
·      Mempelajari sejarah hidup masing-masing periwayat.
·      Meneliti kata-kata yang menghubungkan antara periwayat.
Jadi, suatu sanad hadis barulah dapat dinyatakan bersambung apabila:
·      Seluruh periwayat dalam sanad itu benar-benar siqat
·      Antara masing-masing periwayat dengan periwayat terdekat sebelumnya dalam sanad itu benar-benar telah terjadi hubungan periwayatan hadis secara sah.
b.      Periwayat bersifat adil
Beragama Islam, mukalaf, melaksanakan ketentuan agama, dan memelihara muru’ah. Untuk mengetahui keadilan para periwayat di atas, ulama melakukan penelitian dengan cara:
·      Keutamaan kepribadian nama periwayat di kalangan ulama hadis.
·      Penilaian dari para kritikus periwayat hadis.
·      Penerapan kaedah al-jarh wa al-ta’dil. Cara ini ditempuh, bila para kritikus periwayat hadis tidak sepakat tentang kualitas pribadi periwayat tertentu.
Jadi, penetapan keadilan periwayat diperlukan kesaksian dari ulama, dalam hal ini ulama ahli kritik periwayat. Khusus para sahabat Nabi, hampir seluruh ulama menilai mereka bersifat adil. Karenanya, dalam proses penilaian periwayatan hadis, pribadi sahabat Nabi tidak dikritik oleh ulama hadis dari segi keadilan sahabat.
c.       Periwayat bersifat dhabith
  Menurut Ibn Hajar al-‘Asqalany dan al-Sakhawiy, dhabith ialah orang yang kuat hafalannya tantang apa yang telah didengarnya dan mampu menyampaikan hafalannya itu kapan saja dia kehendaki. Dan ada pula ulama yang menambahkan bahwa bukan hanya kuat hafalannya tetapi juga memahami hadis tersebut. Dari pengertian diatas, tedapat sifat-sifat dhabith yang disebutkan yaitu:
·      Periwayat itu memahami dengan baik riwayat yang telah diterimanya.
·      Periwayat itu hafal dengan baik riwayat yang diterimanya.
·      Periwayat itu mampu menyampaikan riwayat yang dihafalnya kapan saja dia kehendaki.
  Ulama yang lebih berhati-hati adalah yang mendasarkan ke-dhabith-an bukan hanya kepada kemampuan hafalan saja, melainkan juga pada kemampuan pemahaman. Adapun cara penetapan ke-dhabith-an seorang periwayat, menurut berbagai pendapat ulama, dapat dinyatakan sebagai berikut:
·      Berdasarkan kesaksian ulama.
·      Berdasarkan kesesuaian riwayatnya dengan riwayat yang disampaikan oleh periwayat lain yang telah dikenal ke-dhabith-annya.
·      Apabila seorang periwayat sekali-sekali mengalami kekeliruan, masih dinyatakan sebagai periwayat yang dhabith. Tetapi bila sering terjadi, maka tidak dikatakan lagi sebagai periwayat yang dhabith.
  Dalam hubungan ini, yang menjadi dasar penetapan ke-dhabith-an periwayat secara implisit ialah hafalannya dan bukan kepahaman periwayat tersebut terhadap hadis yang diriwayatkannya. Tetapi periwayat yang kuat hafalannya dan memahami hadisnya itu lebuh diutamakan ke-dhabith-annya daripada periwayat yang hanya kuat hafalannya.
d.      Tidak janggal atau syudzudz (syadz)
  Ulama berbeda pendapat tentang pengertian syadz dalam hadis. Tetapi kebanyakan ulama hadis mengikuti pendapat Al-Syafi’iy. Menurut Al-Syafi’iy, suatu hadis mengandung syudzudz (syadz), jika hadis itu hanya diriwayatkan oleh seorang periwayat yang siqat, sedang periwayat yang siqat lainnya tidak meriwayatkan hadis itu. Dan hadis baru berkemungkinan mengandung syudzudz, jika hadis itu memiliki lebih dari satu sanad, para rawi hadis itu semuanya siqat, dan terdapat matan dan atau sanad hadis itu ada yang mengandung pertentangan.
Untuk mengetahui ke-syadz-an suatu hadis sangatlah sulit. Para ulama melakukan penelitian untuk mengetahui syadz-nya suatu hadis dengan cara sebagai berikut:
·      Semua sanad yang mengandung matan hadis yang pokok masalahnya memiliki kesamaan dihimpun dan diperbandingkan.
·      Para periwayat di seluruh sanad diteliti kualitasnya.
·      Apabila seluruh periwayat bersifat siqat dan ternyata ada seorang periwayat yang sanadnya menyalahi sanad-sanad lain, maka sanad tersebut disebut sanad syadz
e.       Tidak ada ‘illat
Menurut Ibn al-Shalah dan al-Nawawiy, ‘illat ialah sebab yang tersembunyi yang merusakkan kualitas hadis. Sehingga hadis yang kelihatan shahih menjadi tidak shahih. Kebanyakan ulama hadis sulit untuk meneliti hadis yang ber-’illat. Ada ulama yang mengatakan bahwa orang yang mampu meneliti illat hadis hanyalah orang yang cerdas, memiliki hafalan hadis yang banyak, paham terhadap hadis yang dihafalnya, mendalam pengetahuannya tentang berbagai tingkat ke-dhabith-an periwayat, dan ahli dibidang sanad dan matan hadis. Al-Hakim al-Nasyabury berpendapat, acuan utama penelitan ‘illat hadis ialah hafalan, pemahaman dan pengetahuan yang luas tentang hadis. Dari persyaratan yang dikatakan para ulama di atas memberi petunjuk bahwa penelitian ‘illat hadis sangat sulit.

ii.   Syarat-Syarat Hadis Hasan
Suatu hadis bisa dikatakan menjadi hadis hasan, jika memenuhi syarat-syarat sebagai berikut:[10]
    1. Sanad-nya bersambung.
    2. Perawinya adil.
    3. Perawinya dhabith, tetapi ke-dhabith-an  perawi hadis hasan dibawah hadis shahih.
    4. Tidak terdapat kejanggalan/syadz
    5. Tidak mengandung ‘illat.

iii. Persamaan dan Perbedaan Hadis Shahih dan Hasan
Menurut dari persyaratan hadis shahih dan hasan di atas, kedua hadis tersebut hampir sama, hanya yang memebedakan tingkat ke-dhabith-an periwayat yang meriwayatkan hadis tersebut. Ke-dhabith-an periwayat hadis shahih lebih tinggi tingkatannya daripada hadis hasan.

C.    Macam-Macam Hadis Shahih dan Hasan
Hadis shahih dibedakan menjadi dua, yaitu :
1.      Hadis Shahih Lidzatihi, adalah hadis yang mencapai tingkat keshahihan dengan sendirinya tanpa dukungan hadis lain yang menguatkannya. Keshahihan hadis yang demikian itu tidak disyaratkan harus berupa hadis ‘Aziz, yakni tidak harus diriwayatkan melalui jalur lain. [11]
2.      Hadis Shahih Lighairihi, adalah hadis hasan lidzatihi yang meningkat kualitasnya dari tingkatan hasan kepada tingkatan shahih karena diriwayatkan (pula) melalui jalur lain yang semisal atau lebih kuat, baik redaksi yang sama maupun hanya maknanya saja yang sama, sehingga hadis tersebut menjadi kuat kedudukannya.[12]
Sedangkan Hadis hasan dibedakan menjadi dua, yaitu:
1.      Hadis Hasan Lidzatihi, adalah hadis yang memenuhi persyaratan hadis shahih tetapi tingkat kedhabitan perawinya kurang sedikit.
2.      Hadis hasan lighairihi, adalah suatu hadis yang meningkat kualitasnya menjadi hadis hasan karena diperkuat oleh hadis lain. Hadis hasan lighairihi asalnya adalah hadis dhaif, namun  karena hadis tersebut diriwayatkan pula melalui jalan lain yang sederajat atau lebih kuat dan bukan berada di bawahnya dengan redaksi yang sama atau hanya maknanya saja dan hadisnya tidak janggal maka hadis ini tingkatannya naik menjadi hadis hasan lighairihi.


D.    Kehujjahan Hadis Shahih dan Hadis Hasan
Status kehujjahan suatu hadis tergantung sanad dan matan hadis tersebut. Apabila sanad suatu hadis telah memenuhi syarat dan kriteria tertentu, begitu juga matannya maka hadis tersebut dapat diterima sebagai dalil untuk menetapkan hukum atas sesuatu. Dengan kata lain hadis tersebut dapat dijadikan hujjah.
Mengenai hadis yang shahih maka para ulama ahli hadis bersepakat bahwa hadis shahih merupakan hujjah yang bersifat qath’i dan harus diikuti. Dengan demikian hadis shahih adalah hadis yang maqbul (diterima) dan dapat dijadikan sebagai hujjah dalam menetapkan hukum syari’at  Islam. Baik itu merupakan shahih lidzatihi ataupun shahih lighairihi.
Sebagian besar ulama menetapkan dengan dalil-dalil qath’i, yaitu Alquran dan hadis mutawatir untuk menetapkan hal-hal yang yang berkaitan dengan akidah dan tidak dengan hadis ahad. Sebagian ulama lainnya dan Ibnu Hazm al-Dahiri menetapkan bahwa hadis shahih memfaedahkan Ilmu qath’i dan wajib diyakini. Dengan demikian hadis shahih dapat dijadikan hujjah untuk menetapkan suatu akidah.[13]
Mengenai hadis hasan maka para ulama berpendapat bahwa hadis hasan dapat dijadikan sebagai hujjah sebagaimana hadis shahih. Para imam ahli hadis mengatakan bahwa hadis hasan sama dengan hadis shahih dalam bidang hujjah, walaupun hadis hadis hasan itu lebih kurang dari hadis shahih dalam segi kekuatannya[14]. Oleh karena itu ahli fiqih menjadikannya sebagai hujjah, namun bila ada kontradiksi antara hadis hasan dan hadis shahih maka hadis shahih harus didahulukan.
Jumhur ulama mengatakan bahwa kehujjahan hadis hasan seperti hadis shahih, walaupun derajatnya tidak sama. Bahkan ada segolongan ulama yang memasukkan hadis hasan ini, baik hasan lidzatihi maupun hasan lighairihi ke dalam kelompok hadis shahih, seperti Hakim, Ibnu Hibban, Ibnu Khuzaimah. Bahkan para fuqoha’ dan ulama banyak beramal dengan hadis hasan ini. Menurut Al-khattabi hadis yang mereka maksud di sini (hadis yang bisa diterima sebagai hujjah) adalah hadis hasan li dzatihi. [15] sedangkan untuk hadis hasan lighairihi jika kekurangannya dapat diminimalisir atau ditutupi oleh riwayat lain, maka sahlah berhujjah dengannya.


IV.    KESIMPULAN
Berdasarkan uraian di atas, dapat diambil kesimpulan bahwa:
a.       Hadis ditinjau dari segi kualitasnya ada yang disebut hadis shahih dan hasan.
b.      Hadis shahih adalah hadis yang memenuhi syarat-syarat sebagai berikut:
·         Sanad-nya bearsambung
·         Periwayat bersifat adil
·         Periwaayat bersifat dhabith
·         Tidak ada kejanggalan (Syadz)
·         Tidak ada ‘illat
c.       Hadis hasan adalah hadis yang dinukilkan oleh orang yang kurang kuat ingatannya, yang muttasil (yang bersambung-sambung sanad-nya), yang musnad jalan datangnya (sampai kepada Nabi SAW), yang tidak cacat dan tiada mempunyai keganjilan.
d.      Hadis shahih dibagi menjadi dua yaitu: shahih lidzathihi dan shahih lighairihi, begitu juga dengan hadis hasan.
e.       Hadis shahihdan hadis hasan keduanya dapat dijadikan hujjah (dalil dalam penetapan hukum). Namun kehujjahan hadis shahih lebih kuat dari pada hadis hasan.

V.       PENUTUP
Demikian makalah yang dapat kami sampaikan. Sebagai insan yang dlaif tentunya masih banyak kekurangan dalam penulisan makalah ini. Kritik dan saran sangat kami harapkan dari pembaca sekalian untuk perbaikan dan evaluasi dari apa yang penulis dapat sajikan.




[1] M. Syuhudi Ismail, Kaedah Kesahihan Sanad Hadis, (Jakarta:Bulan Bintang, 1995), cet. II, hlm. 10
[2] Utang Ranuwijaya, Ilmu  Hadis, (Jakarta: Gaya Media Pratama, 1996), hlm. 155
[3] Nuruddin ‘Itr. Ulum al-Hadis 2. (Bandung:Remaja Rosdakarya, 1992),  hlm. 2
[4] M. Syuhudi Ismail. op.cit. hlm. 126
[5] Hasbi Ashiddieqy, Poko-Pokok Ilmu Dirayah Hadis, (Jakarta: Bulan Bintang, 1987),  hlm. 161
[6] Ibid., hlm. 162                                                                                                                       
[7] Utang Ranuwijaya, op.cit.,  hlm. 169
[8] Muhammad  Zuhri, Hadis Nabi Telaah Historis dan Metodologis, (Yogyakarta:Tiara Wacana Yogya, 2003),  cet. II, hlm. 88
[9] M. Syuhudi Ismail, op.cit., hlm.127
[10] Utang Ranuwijaya, op.cit., hlm. 171
[11] Nuruddin ‘Itr, op.cit., hlm. 31
[12] Ibid.
[13] Munzier Suparta,  Ilmu Hadis, (Jakarta : Raja Grafindo Persada, 2003), hlm. 136
[14] Hasbi Ash Shiddieqy, op.cit.,  hlm.174
[15] Ibid., hlm. 148

DAFTAR PUSTAKA

Ash-Shiddieqy, Hasbi.1987.Pokok-Pokok Ilmu Dirayah Hadis.Jakarta:Bulan Bintang.
Ismail, M. Syuhudi.1995.Kaedah Kesahihan Sanad Hadis.Jakarta:Bulan Bintang.
‘Itr, Nuruddin.1997.Ulum Al-hadis 2.Bandung:Remaja Rosdakarya.
Ranuwijaya, Utang.1996.Ilmu Hadis. Jakarta: Gaya N_Media Pratama.
Suparta, Munzier.2003.Ilmu Hadis.Jakarta:Raja Grafindo Persada.
Zuhri, Muhammad.2003.Hadis Nabi Telaah Historis dan Metodologis.Yogyakarta:Tiara Wacana Yogya.