GELIAT TAREKAT NAQSYABANDIYAH KHALIDIYAH DALAM KEHIDUPAN TASAWUF DI KUDUS



GELIAT TAREKAT NAQSYABANDIYAH KHALIDIYAH
DALAM KEHIDUPAN TASAWUF DI KUDUS

MAKALAH

Disusun untuk Memenuhi Tugas
Mata Kuliah: Tasawuf
Dosen: Abdul Kholiq, M. Ag.

Oleh :
ROFIQO RAHMAWATI (093511033)

FAKULTAS TARBIYAH
INSTITUT AGAMA ISLAM NEGERI WALISONGO SEMARANG
2010


GELIAT TAREKAT NAQSYABANDIYAH KHALIDIYAH
DALAM KEHIDUPAN TASAWUF DI KUDUS

I.             PENDAHULUAN
Kudus adalah kota yang unik dan menarik. Unik karena ia merupakan satu-satunya kota di Indonesia yang mengambil nama dari bahasa Arab Qudus yang berarti suci. Menarik karena di kota ini terdapat beberapa tempat peninggalan sejarah seperti Masjid al-Manar atau al-Aqsha, makam Sunan Kudus dan Muria, serta masjid Muria yang berdiri kokoh di puncak gunung.
Bahkan, sebagaimana yang dikemukakan De Graaf dan Pigeaud, sejak dahulu Kudus sudah terkenal di Jawa bahkan di Nusantara sebagai pusat penyiaran agama Islam.[1] Selain itu, kota yang berada di 51 km ke arah timur laut dari kota Semarang Jawa Tengah itu juga mendapat julukan sebagai kota santri. Pemberian julukan tersebut disebabkan banyaknya kyai dan pondok pesantren yang tumbuh, tepatnya di bagian barat[2] atau yang lebih sering dikenal dengan sebutan Kudus Kulon.[3]
Secara implisit, hal tersebut tidak menafikan adanya kehidupan tasawuf di kudus. Pasalnya, hampir setiap daerah yang penduduknya beragama Islam akan dijumpai pengikut sufisme yang lazimnya menjadi warga dari salah satu tarekat. Di kota yang berketinggian 55 meter di atas permukaan air laut itu pun tarekat menjamur. Salah satu diantaranya adalah tarekat Naqsyabandiyah Khalidiyah.

II.          RUMUSAN MASALAH
Berdasarkan pemaparan di atas, ada beberapa hal yang cukup urgen dipertanyakan sebagai wujud keingintahuan terhadap hal tersebut. Di antaranya adalah sebagai berikut;
a.       Apakah hubungan antara Tarekat dan Tasawuf?
b.      Apakah Hakikat Tarekat Naqsyabandiyah Khalidiyah itu?
c.       Bagaimana masuknya Tarekat Naqsyabandiyah Khalidiyah di Kudus?
d.      Bagaimana peranan Tarekat Naqsyabandiyah Khalidiyah dalam kehidupan tasawuf di Kudus?

III.       PEMBAHASAN
A.    Hubungan antara Tarekat dan Tasawuf
Secara etimologi, pengertian tarekat berasal dari bahasa Arab, thariqah, yang sepadan maknanya dengan sirah, perjalanan atau madzhab, cara (jalan). Bentuk jamak thariqah, tharaiq berbeda dengan thariq, yang bentuk jamaknya thuruq. Kata kedua, mempunyai arti lintasan luas dan memanjang yang lebih luas dari jalan raya.[4] Sepintas kedua kata mempunyai kesamaan makna namun jika dicermati terdapat perbedaan makna. Thariqah lebih menekankan sebuah perjalanan yang sudah diatur melalui cara tertentu, sedang yang kedua, tidak mempunyai pengertian yang demikian.
Harun Nasution, mengartikan tarekat sebagai jalan yang harus ditempuh calon sufi dengan tujuan berada sedekat mungkin dengan Tuhan. Tarekat lantas mengandung arti organisasi. Tiap tarekat memiliki syekh, upacara ritual dan bentuk dzikir sendiri.[5]
Jika dikaitkan dengan tasawuf, tarekat memang memiliki hubungan tersendiri dengan tasawuf.  Hal ini berawal dari tasawuf yang berkembang dengan berbagai macam faham dan aliran. Sehingga, pada abad ke-13, beberapa saat setelah tentara Mongolia meruntuhkan kekuasaan Bani Abbasiyah di Baghdad, berkembanglah buah pelembagaan kumpulan tasawuf yang belakangan akrab disebut dengan tarekat.[6] Hal tersebut ditandai dengan tiap silsilah tarekat yang selalu dihubungkan dengan nama pendiri maupun tokoh sufi.[7]
Usman Said dkk. mendefinisikan tarekat adalah tasawuf yang berkembang dengan beberapa variasi tertentu, sesuai dengan spesifikasi yang diberikan syekh kepada muridnya. Hal itu disebabkan ajaran pokok tarekat sama dengan ajaran tasawuf.[8]
Tujuan tasawuf adalah memperoleh hubungan langsung dan disadari dengan Allah. Intisarinya ada komunikasi dan dialog antara roh manusia dengan Allah melalui pengasingan diri dan kontemplasi.[9] Sasaran tasawuf, upaya pendekatan diri kepada Allah. Karenanya, ditempuh melalui penyucian rohani dan memperbanyak ibadah kepada Allah dan harus dibawah bimbingan seorang mursyid. Jadi, tarekat adalah konkretisasi ajaran tasawuf yang lazimnya dilalui seseorang yang akan berkecimpung dalam dunia tasawuf.

B.     Hakikat Tarekat Naqsyabandiyah Khalidiyah
Di Indonesia, sampai saat ini jumlah tarekat semakin berkembang. Sekalipun ada beberapa di antaranya tidak menyebut dirinya secara resmi sebagai tarekat, melainkan hanya suatu gerakan sholawatiyah atau amalan.
Organisasi Nahdlatul Ulama’ (NU) sendiri telah mengkualifikasi tarekat-tarekat tersebut. Ada 45 tarekat Mu’tabarah.[10] Lebih dari itu, NU juga membentuk konfederasi bernama “Jam’iyah Ahli Tarekat Mu’tabarah”. Jami’yah tersebut didirikan pada tanggal 10 Oktober 1957 sebagai tindak lanjut dari keputusan Mu’tamar NU tahun 1957 di magelang.[11]
Dalam Mu’tamar NU 1979 di Semarang, nama badan di atas di ganti menjadi “Jam’iyah Thariqat Mu’tabarah Nahdliyyin”. Penambahan kata nahdliiyyin dimaksudkan untuk menegaskan bahwa badan fedreasi ini harus tetap berafiliasi kepada NU. Salah satu tarekat yang masuk dalam federasi ini adalah Tarekat Naqsyabandiyah Khalidiyah.[12]
Tarekat Naqsyabandiyah Khalidiyah merupakan tarekat yang berhulu dari nabi Muhammad, mengalir melalui Abu Bakar dan sampai pada periode antara Syaikh Khalid Kurdi Al Usmani hingga dewasa ini.[13] Adapun pokok-pokok ajarannya, adalah:[14]
1.      Berpegang teguh terhadap faham Ahlussunnah wal Jama’ah.
2.      Mengamalkan sesuatu yang halal tetapi tidak sepenuhnya. Seperti, makan minum tidak terlalu kenyang, mengurangi tidur supaya dapat berdzikir dengan baik.
3.      Berhati-hati terhadap masalah syubhat.
4.      Senantiasa merasa diawasi oleh Allah SWT.
5.      Menghadapkan diri kepada Allah secar continue.
6.      Berpaling (tidak tergiur) terhadap kemewahan harta dunia.
7.      Merasa sepi sendirian dalam suasana ramai dan hati selalu hudlur kepada Allah.
8.      Berpakaian yang rapi
9.      Zikir khafi (samar tidak bersuara)
10.  Menjaga keluar masuknya nafas jangan sampai lupa mengingat Allah.
11.  Berakhlak yang luhur seperti yang dicontohkan Rasul.
Dalam tarekat Naqsyabandiah Khalidiyah, calon murid terlebih dahulu harus melalui proses sebagaimana berikut:[15]
1.      Mendapat izin dari mursyid.
2.      Melakukan shalat istikharah, mohon petunjuk kepada Allah apakah ia mampu mengikuti tarekat atau tidak. Lamanya istikharah adalah 1 sampai 7 hari. Dari mimpi yang diperolehnya itu kemudian dita’birkan oleh sang mursyid.
3.      Bai’at (janji prasetya) dan talqin (bimbingan) dzikir.
Disamping itu, ada 5 hal yang secara praktek harus diamalkan oleh setiap warga tarekat Naqsyabandiyah Khalidiyah, yaitu harus menyedikitkan bicara yang tidak berfaedah, menyederhanakan makan dan minum, senantiasa dzikir kepada Allah dan bertawajjuh.[16]

C.    Masuknya Tarekat Naqsyabandiyah Khalidiyah di Kudus
Orientasi keagamaan umat Islam di kota Kudus pada umumnya adalah Ahlussunnah wal Jama’ah  (Aswaja). Selain itu juga ada orientasi keagamaan yang besifat reformis namun minoritas, yaitu Muhammadiyah.
Bersamaan dengan faham keagamaan yang mendominasi masyarakat Kudus itu, di daerah ini telah berkembang pula tarekat Naqsyabandiyah Khalidiyah di Kwanaran Kota kudus. Pemimpinnya adalah K. H. M. Arwani Amin.
Putra dari pasangan H. Amin Sa’id dan Hj. Wanifah itu mendapatkan ilmu tarekat setelah mengkhatamkan pelajarannya dengan nyantri di Popongan Solo kepada K. H. Muhammad Mansur selama 10 tahun. Konon  katanya, Suami dari Hj. Naqiyul Khud itu adalah murid terakhir yang berhasil  mengkhatamkan pelajaran dengan kyai Mansur. Pasalnya, sehabis itu Kyai Mansur dipanggil ke Rahmatullah.[17]
Pada bulan Muharram 1377 H/ 1957 M kyai Mansur menetapkannya sebagai khalifah pengganti beliau.[18] Mulai dari sinilah, sekembalinya K. H. M. Arwani Amin ke Kudus, beliau mulai mendirikan tarekat.  Sebelumnya beliau juga telah  mendirikan Pondok Huffadh Yanbu’ul Qur’an (PHYQ).[19]
Adapun Silsilah Tarekat Naqsyabandiyah Khalidiyah K. H. M. Arwani, yaitu: 1) Allah Ta’ala ‘Azza wa Jalla, 2) Jibril a.s., 3) Muhammad SAW, 4) Abu Bakar as-Shiddiq, 5) Salman al-Farisi, 6) Qasim ibn Muhammad, 7) Ja’far Shadiq, 8) Abi Yazid Thoifur al-Bisthomi, 9) Abu Hasan Ali al-Kharqani, 10) Abi Ali al-Fadhal, 11) Yusuf al-Hamadani, 12) Abi al-Khaliq al-Ghajduwani, 13) Arif ar Riwikari, 14) Mahmud al-Anjir Faghnawi, 15) Aliar-Rumaitini, 16) Muhammad Baba as-Samasi, 17) Amir Kullal, 18) Muhammad Bahauddin al-Naqsyabandi, 19) Muhammad ibn Alauddin al-Thahari, 20) Ya’qub al-jarkhi, 21) Ubaidillah al-Akhrari, 22) Muhammad al-Zahid, 23) Darwis Muhammad, 24) Muhammad Khowajiki, 25) Muhammad Al-Baqi Billah, 26) Ahmad al-Faruqi, 27) Muhammad Ma’shum, 28) Saifuddin, 29) Nur Muhammad Al Badwani, 30) Habibullah, 31) Abdullah al-Dahalawi, 32) Kholidal-Baghdadi, 33) Sulaiman al-Quroimi, 34) Isma’il al-Barusi, 35) Sulaiman az-Zuhdi, 36) Muhammad al-Hadi, 37) Manshur Sala, 38) Arwani al-Khirmi[20]
Selain tarekat Naqsyabandiyah Khalidiyah saat itu di Kudus juga ada beberapa tarekat, seperti:[21]
1.      Tarekat Qadariyah Naqsyabandiyah di pondok Al Wustho desa Piji, Dawe, Kudus. Pengikutnya berjumlah sekitar 2000 orang. Mursyidnya, seorang kepala desa yang juga seorang ulama, yaitu K. H. Shiddiq.
2.      Tarekat Naqsyabandiyah di desa Jetak Kembang, Kota, Kudus. Mursyidnya bernama kyai Ali dan setelah beliau wafat diteruskan oleh menantunya bernama kyai Anwar.
3.      Tarekat Naqsyabandiyah di desa Jati. Mursyidnya bernama kyai Sabuni. Namun, konon kata masyarakat tarekat ini adalah tarekan yang sesat. Hal ini karena tarekat ini bersifat pedukunan dan lebih mementingkan ibadah sunahdari pada wajib.
Sepeninggal K. H. M. Arwani Amin tarekat ini masih tetap menghembuskan nafasnya di Kota kretek. Bahkan, mayoritas masyarakat Kudus bergabung dalam tarekat ini. Kedua putra beliau, K. H. Ulin Nuha dan K. H. Ulil Albab, yang melanjutkan perjuangan mengurus tarekat beserta PHYQ.

D.    Peranan Tarekat Naqsyabandiyah Khalidiyah di Kudus
Seperti lazimnya yang terdapat di setiap perkumpulan tarekat, para pengikut Tarekat Naqsyabandiyah Khalidiyah di Kudus kebanyakan adalah orang-orang yang sudah lanjut usia. Mereka tampaknya sudah tidak lagi didorong oleh keinginan mengejar kehidupan duniawi sebagai dasar untuk memperoleh kebahagiaan. Mereka merasakan bahwa kebutuhan spiritual untuk lebih mendekati Tuhan merupakan tuntutan hidupnya yang paling menonjol.
Kegiatan tarekat yang dipimpin oleh K.H. Arwani itu, tidak membicarakan tasawuf dari segi falsafahnya namun lebih menekankan pada penggunaan amaliah atau praktek tarekatnya. Kiranya, hal inilah yang lebih menarik minat kaum awam untuk mengikuti tarekat ini.[22]
Kegiatan rutin Tarekat Naqsyabandiyah Khalidiyah yang dipimpin K. H. Arwani ini adalah pengajian tiap selasa di pondok masjid Kwanaran yang dimulai pada jam 09.00 WIB sampai waktu dzuhur. Pengajian tersebut adalah pengajian syariat yang biasanya diberikan oleh kyai pembantu (badal) yaitu antara lain; Kyai M. Hambali Sumardi (Alm), K. H.Ma’mun (Alm), K. Maswan (Alm), K. H. Sya’roni Achmadi, Kyai Naschan Imam, dan K. H.Amin Dimyati.  Kitab-kitab yang dijadikan pegangan dalam pengajian tersebut adalah, Safinatun Najat, Jauharatut Tauhid, Bidayatul Hidayah, Irsyadul ‘Ibad, Washiyyatul Musthofa, Nasoikhud Diniyah, Kifayatul Atqiya wa Minhsjul Ashfiya. [23]
Di samping menerima pengajian syari’at warga tarekat juga menerima bimbingan khusus tentang amaliah praktek yang dapat dibaca pada kitab-kitab Risalah Mubarokah, al-Durus al-Smain, al-Idhoh fie al-Thariqah al-Khalidiah, al-Futuhah al-Robbaniah, dan Umdatus Salik fie Khoirul Masalik. Kegiatan rutin yang dilaksanakan setiap hari selasa ini disebut Tawajjuhan dan yang hadir biasanya sekitar 500-750 orang.
Selain kegiatan Tawajjuhan para pengikut Tarekat Naqsyabandiyah Khalidiyah ini juga melaksanakan kegiatan khalwat[24] atau suluk[25].  Warga tarekat ini biasanya melakukan khalwat di pondok masjid Kwanaran selama 10 hari setiap tanggal 1-10 Muharram, 1-10 Rajab, dan 1-10 Ramadlan.
Peserta khalwat dibatasi hanya 1200 orang terdiri dari 600 peserta putra dan 600 peserta putri. Pembatasan tersebut terpaksa diberlakukan mengingat fasilitas yang tersedia di pondok Kwanaran sangat terbatas. Mereka berdatangan dari berbagai daerah di  Jawa Tengah terutama dari Kudus, Jepara, Demak, Pati, dan Semarang. Bahkan, juga ada yang dari Jawa Barat dan Jawa Timur. [26]
Menjelang hari-hari khalwat panitia tampak sibuk sekali mengadakan persiapan-persiapan. Peserta khalwat diharuskan mendaftarkan diri kepada panitia dengan memberikan sekedar sumbangan untuk keperluan penyediaan minyak lampu, honorarium petugas kebersihan dan penyediaan air serta petugas keamanan dari hansip kampong Kwanaran.
Seorang murid yang telah di bai’at dan talqin, dianjurkan mengikuti khalwat sebanyak 14 kali sehingga dapat dikatakan telah khatam pelajaran tarekatnya dan akan naik ke tingkat yang lebih atas serta akan mendapatkan bai’at dan talqin lagi dari sang mursyid. Para santri yang telah khatam itu terdiri dari dua kategori, yaitu: (1) telah khatam dan mendapatkan ijazah dari sang mursyid untuk mngajarkan dan mengembangkannya kepada yang lain, (2) telah khatam tapi tidak mendapat ijazah dari sang mursyid. Namun, jika seorang murid tidak mengikuti khalwat, hal ini tidak membatalkan kewargaan tarekatnya selama dia masih merasa menjadi pengikuttarekat tersebut.
Selama khalwat mereka benar-benar dibimbing untuk meningkatkan ibadah, seperti: shalat selalu berjama’ah, memperbanyak shalat-shalat sunah, berpuasa, senantiasa dalam keadaan berwudlu, tidak diperkenankan makan daging, telur, dan ikan. Menanak nasi sendiri secara berkelompok dalam upaya menghindari masakan orang yang tidak dalam berwudlu. Wirid yang dibaca dalam khalwat tersebut adalah seperti dzikir Ismud Dzat (Allah, Allah…) dan dzikir nafi (La Ilaha Illa Allah) menurut cara dan jumlah yang ditentukan berdasarkan tingkatannya masing-masing.
Khalwatan yang dilaksanakan secara ruitn pada bulan Muharam, Rajab, dan Ramadlan tersebut dinamakan khalwat umumi. Jika ternyata seorangpengikut tarekat diperlukan oleh sang mursyid untuk dijadikan badal disuatu tempat, ia biasanya ditekankan oleh sang mursyid untuk mempercepat pelajaran tarekatnya. Hal ini dapat ditempuh dengan khalwat khususi, yaitu khalwat yang dilakukan kendatibukan dalam bulan-bulan khalwat umumi.
Khalwat sebagai intensifikasi pendidikan tarekat, menurut mereka dapat dirasakan pengaruhnya secara batin, misalnya: menggairahkkan ibadah, menambah ketenangan batin, lebih tawadlu’ terhadap sesama, bertambah zuhud terhadap dunia, dan meningkatkan kesadaran akan pentingya menambah ilmu untuk diamalkan.

IV.       KESIMPULAN
Tarekat merupakan konkretisasi ajaran tasawuf yang lazimnya dilalui seseorang yang akan berkecimpung dalam dunia tasawuf. Tarekat Naqsyabandiyah Khalidiyah adalah tarekat mu’tabarah yang berhulu dari nabi Muhammad, mengalir melalui Abu Bakar dan sampai pada periode antara Syaikh Khalid Kurdi Al Usmani hingga dewasa ini.
Di Kudus, pendiri tarekat tersebut adalah K. H. M. Arwani Amin. Tarekat tersebut mempunyai kontribusi tersendiri dalam membentuk kehidupan tasawuf masyarakat Kudus. Pasalnya, tarekat yang diikuti oleh mayoritas masyarakat itu, khususnya melalui kegiatan khalwatnya, dapat dirasakan pengaruhnya secara batin yang senantiasa membimbing mereka untuk senantiasa mendekat kepada sang pencipta.

V.          PENUTUP
Demikian makalah yang dapat penulis sajikan. Sebagai insan yang dlaif  tentunya masih banyak kekurangan dalam penulisan makalah ini. Oleh karena itu, kami sangat mengharapkan kritik dan saran dari pembaca sekalian guna perbaikan dan evaluasi.




[1] De Graaf, Pigeaud, Kerajaan Islam di Jawa: Perlawanan dari Majapahit ke Mataram Seri 2, (Jakarta:Grafiti Pers, 1985), hlm. 117
[2] Kudus dilalui sungai gelis yang mengalir ke selatan sehingga terbelah menjadi dua bagian. Bagian barat sungai dinamakan Kudus Kulon dan sebelah timur dinamakan Kudus Wetan.
[3] Rosehan Anwar, Muchlis, Laporan Penelitian dan Penulisan Biografi K. H. M. Arwani Amin di Propinsi Jawa tengah, (Proyek Penelitian Keagamaan Departemen Agama:Penelitian dan pengembangan Lektur Agama, 1986/1987), hlm. 27

[4] http://www.tajdid-iaid.or.id/index.php?option=com_content&task=view&id=23, diunduh pada 25 November 2010, pukul 17.45 WIB
[5] Harun Nasution, Islam Ditinjau dari Berbagai Aspeknya, Jilid II, (Jakarta:Bulan Bintang,1974), hal. 89.
[6] M. Muhsin Jamil, Tarekat dan Dinamika Sosial Politik: Tafsir Sosial Sufi Nusantara, (Yogyakarta:Pustaka Pelajar, 2005), hlm. 46.
[7] Sri Mulyati dkk., Mengenal dan Memahami Tarekat-Tarekat Muktabarah di Indonesia, (Jakarta:Prenata Media, 2005), hlm. 6.
[8] Usman Said dkk., Pengantar Ilmu Tasawuf, (Proyek Pembinaan Perguruan Tinggi Agama: Institut Agama Islam Negeri Sumatera Utara, 1981/1982), hlm.274
[9] Harun Nasution, Falsafat dan Mistisisme dalam Islam, (Jakarta:Bulan Bintang, 1982), cet.VIII, hlm.56
[10] Tarekat Mu’tabarah adalah tarekat yang sanadnya tidak terputus atau dengan kata lain sanadnya bersambung kepada Rasulullah SAW sehingga sah untuk diamalkan.
[11] Zamakhsyari Dhofier, Tradisi Pesantren,Studi tentang Pandangan Hidup Kyai, (Jakarta:LP3ES, 1982), hlm. 143
[12] Rosehan Anwar, Muchlis, op.cit., hlm. 123
[13] http://www.baitulamin.org/baitul-amin/86.html, diunduh pada tanggal 25 November 2010, pukul 20.05 WIB
[14] Hamam Nashiruddin, Al-Idhoh Fie At Thariqah Al Khalidiyah, (Kudus:Menara Kudus, tt), hlm. 10-13
[15] Rosehan Anwar, Muchlis, op.cit., hlm. 128
[16] Ibid., hlm. 128-129
[17] Ibid, hlm. 101
[18] Ibid., hlm.101
[19] Kebetulan beliau juga lah murid yang berhasil mengkhatamkan pelajaran Qira’at Sab’at dengan gurunya ketika nyantri di podok pesantern Krapyak, Jogjakarta, pimpinan K.H. Munawir.
[20] Ibid., hlm. 162-163
[21] Ibid., hlm.31-32
[22] Ibid., hlm. 158
[23] Ibid., hlm. 158-159
[24] Khalwat merupakan salah satu liturgi tarekat di mana pada saat yang telah ditentukan para pengikut tarekat tersebut berkumpul mengadakan wirid bersama, solat berjamaah, puasa, memperbanyak solat sunnat di bawah bimbingan seorang mirsyid.
[25] Memisahkan diri (menyendiri) dari keluarga dan melakukan wirid.
[26] Ibid., hlm. 160


DAFTAR PUSTAKA


Dhofier, Zamakhsyari.1982.Tradisi Pesantren,Studi tentang Pandangan Hidup Kyai.Jakarta:LP3ES.

Graaf, De, Pigeaud.1985.Kerajaan Islam di Jawa: Perlawanan dari Majapahit ke Mataram Seri 2.Jakarta:Grafiti Pers.

Jamil, M. Muhsin.2005.Tarekat dan Dinamika Sosial Politik: Tafsir Sosial Sufi Nusantara.Yogyakarta:Pustaka Pelajar.

Mulyati, Sri, dkk.2005.Mengenal dan Memahami Tarekat-Tarekat Muktabarah di Indonesia.Jakarta:Prenata Media.

Nashiruddin, Hamam.tt.Al-Idhoh Fie At Thariqah Al Khalidiyah.Kudus:Menara Kudus.

Nasution, Harun.1974.Islam Ditinjau dari Berbagai Aspeknya, Jilid II.Jakarta:Bulan Bintang.

_______________.1982.Falsafat dan Mistisisme dalam Islam.Jakarta:Bulan Bintang.

Anwar, Rosehan, Muchlis.1986/1987.Laporan Penelitian dan Penulisan Biografi K. H. M. Arwani Amin di Propinsi Jawa tengah.Proyek Penelitian Keagamaan Departemen Agama:Penelitian dan pengembangan Lektur Agama.

Said, Usman, dkk.1981/1982.Pengantar Ilmu Tasawuf.Proyek Pembinaan Perguruan Tinggi Agama: Institut Agama Islam Negeri Sumatera Utara.

http://www.baitulamin.org/baitul-amin/86.html, diunduh pada tanggal 25 November 2010, pukul 20.05 WIB.

http://www.tajdid-iaid.or.id/index.php?option=com_content&task=view&id=23, diunduh pada 25 November 2010, pukul 17.45 WIB.