SPL; RUMPUT LIAR PENDIDIKAN

Sejumlah perguruan tinggi di kota Semarang seperti UNDIP, UNNES, dan IKIP PGRI bersaing harga dalam seleksi penerimaan mahasiswa baru. Besar minimal Sumbangan Pengembangan Lingkungan (SPL) ditingkatkan tiap tahun. Beragam jalur pun dibuka untuk merekrut calon mahasiswanya (Kompas, 22/6/2010). Kasus serupa juga terjadi di semua perguruan tinggi terkemuka Indonesia. SPL dan uang gedung, tak serupa tapi sama. SPL hanya nama lain dari uang gedung. Hanya saja, bahasanya diperhalus. Hal ini terjadi akibat adanya pelarangan pungutan uang gedung pada Perguruan Tinggi Negeri (PTN) dan disahkannya otonomisasi biaya pendidikan di PTN. Tidak mudah memang, untuk mendapatkan satu kursi di perguruan tinggi terkemuka. Jika tidak benar-benar pandai, harus kaya. Setidaknya, sang calon mahasiswa harus dapat membayar biaya minimal SPL. Biaya itu pun tidak sedikit jumlahnya (di atas Rp. 5.000.000, 00). Sudah menjadi rahasia umum pula, mahasiswa yang mengisi SPL minimal, kebanyakan tidak lolos seleksi sehingga mereka harus membayar lebih. Itulah yang menyebabkan biaya masuk ke perguruan tinggi menjadi mahal. Jika hal ini di biarkan terus menerus, tentu akan memperparah pembangunan nasional. Tujuan nasional sebagaimana yang tercantum dalam pembukaan UUD 1945 tentu akan terhambat. Hal ini disebabkan tidak semua generasi penerus bangsa dapat mengenyam pendidikan di perguruan tinggi. Mengingat bahwa secara ekonomi, masyarakat Indonesia masih tergolong menengah ke bawah. Disamping itu, tidak semua calon mahasiswa pandai karena kebanyakan dari mereka terkungkung dalam kemiskinan sedari kecil. Akibatnya, waktu yang seharusnya digunakan untuk belajar dialihkan untuk bekerja. Padahal, nasib bangsa berada di tangan para pemuda. Pemuda seharusnya mendapatkan pendidikan yang setinggi-tingginya. Pendidikan yang cukup sebagai bekal memimpin bangsa kelak. Bukan pendidikan yang instan dan siap pakai. Melihat betapa tingginya biaya masuk perguruan tinggi tersebut, bagaimana para pemuda bisa mengenyam pendidikan yang setinggi-tingginya? Pendidikan bukan mesin pengeruk uang. Tetapi, pendidikan adalah sarana urgen yang dapat menghantarkan pada kemajuan bangsa. Di Indonesia, dalam UU no. 20 tahun 2003 tentang Sistem Pendidikan Nasional, telah disebutkan dengan jelas fungsi pendidikan itu. Bahwasanya, pendidikan nasional berfungsi untuk mengembangkan kemampuan dan membentuk watak serta peradaban bangsa yang bermartabat dalam rangka mencerdaskan bangsa Seharusnya, pemerintah lebih peka terhadap hal ini. Akses masuk ke perguruan tinggi harus dipermudah. Jangan sampai hanya karena tingginya SPL saja, masyarakat Indonesia tidak bisa mengenyam pendidikan di perguruan tinggi, khususnya PTN. Sehingga, pendidikan akan menjadi boomerang bagi kehancuran Indonesia sendiri. Pendidikan bukan untuk dikomersialkan. Jika perlu, hapus saja segala bentuk pungutan yang dianggap tidak perlu dan tidak memihak masyarakat, seperti SPL. Lebih-lebih di institusi negeri. Layaknya rumput liar dalam tanaman yang dirawat, hal itu hanya akan merusak tanaman rawatan. Mari kita mencerabut rumput liar itu sampai ke akar-akarnya! 

Artikel ini ditulis saat penulis semester 1 pada jenjang S-1