Analisis Tempo


BUKAN “BAHASA KORAN"
(Sebuah Tanggapan terhadap Artikel dalam Kolom Bahasa Majalah Tempo yang Berjudul “Bahasa Koran”)

ARTIKEL

Disusun untuk memenuhi tugas Bahasa Indonesia
Dosen Pembimbing: Drs. Sajid Iskandar


                                                                                          
Oleh :
ROFIQO RAHMAWATI (093511033)

INSTITUT AGAMA ISLAM NEGERI WALISONGO SEMARANG
FAKULTAS TARBIYAH
2010



BUKAN “BAHASA KORAN"
(Sebuah Tanggapan terhadap Artikel dalam Kolom Bahasa Majalah Tempo yang Berjudul “Bahasa Koran”)

Dewasa ini, orang-orang sudah tidak peduli atau hanya sedikit yang peduli dengan “kebakuan” bahasa dalam ragam ilmiah. Untuk itu, penggunaan bahasa baku perlu dimasyarakatkan kembali. 

Istilah “Bahasa Koran” sengaja saya gunakan dalam tulisan ini, bukan bermaksud untuk menyinggung wartawan. Namun, untuk merujuk istilah yang juga digunakan dalam artikel majalah Tempo (untuk edisinya lupa,,,ok deh ntar coba tak carikan n segera q rev tulisan q ini....hehe/red). 

Penulis dalam artikel tersebut mengemukakan bahwa istilah tersebut muncul di dalam kelas pelatihan calon penerjemah buku ajar bagi dosen karena para peserta memungut contoh kalimat dari koran untuk bahan diskusi tentang bahasa baku. Struktur bahasa Inggris dicurigai telah menulari para penerjemah. Seperti susunan kalimat: (1)“Menjawab pertanyaan wartawan, Menteri Wirajuda menyatakan……” dan (2)“Sekitar Rp 65 miliar merupakan utang swasta, di mana Rp 15 miliar diantaranya berupa commercial paper.” Contoh pertama diyakini terpengaruh kalimat Inggris sejenis “Answering journalists’ question, the minister stated…….”. Sedangkan, contoh kedua ditengarai sepadan dengan penggunaan kata bahasa Inggris “where”, yang sebenarnya bisa dibuang saja. Akibatnya, bentuk kedua kalimat di atas dianggap tidak baku. Bahkan, dianggap mengalami kesalahan yang fatal. 

Sebenarnya, permasalahannya tidak sedemikian besarnya. Dalam pandangan saya, kedua bentuk kalimat di atas sudah sesuai dengan kaedah tata bahasa baku bahasa Indonesia.  Sepintas, contoh pertama memang terlihat tidak baku karena terdapat verba yang menjadi subjek. Padahal, lazimnya hanya kalimat perintahlah yang diawali verba. Dalam buku Tata Bahasa Baku Bahasa Indonesia terbitan Balai Pustaka tahun 1988 halaman 260 telah disebutkan dengan jelas bahwa verba boleh berfungsi sebagai subjek dalam sebuah kalimat. Contoh: “Berenang sangat baik untuk kesehatan.” Susunan tersebut hampir sama dengan kalimat yang dipermasalahkan: “Menjawab pertanyaan wartawan…….”. 

Selain itu, sebagaimana yang kita ketahui, Bahasa Indonesia mengenal empat ragam bahasa, yaitu: ragam bahasa ilmiah, jurnalistik, hukum, dan sastra. Keempat ragam tersebut memiliki karakteristik yang berbeda-beda. “Bahasa Koran” itu sendiri dapat dikategorikan ke dalam ragam bahasa jurnalistik. Tentunya, ragam tersebut berbeda dengan ragam bahasa ilmiah. 

Penyebabnya adalah fungsi media massa sebagai media informasi, kontrol sosial, alat pendidikan dan alat penghibur. Sehingga, ragam bahasa jurnalistik setidaknya harus mempunyai ciri komunikatif, sederhana, dinamis, demokratis, efektif, dan efisien. 

Rosihan Anwar pernah mengatakan bahwa ciri khas bahasa jurnalistik adalah singkat, padat, sederhana, lancar, jelas, dan menarik. Sehingga bahasa yang baku menjadi pertimbangan kesekian dalan ragam jurnalistik. Ketika bentuk tersebut terdapat dalam koran, tidaklah menjadi masalah yang serius. Sebenarnya, kesalahan yang fatal adalah peserta dalam kelas calon penerjemah buku ajar bagi dosen memungut contoh-contoh kalimat yang ada dalam koran. Padahal, sudah jelas bahwa ragam ilmiah berbeda dengan ragam bahasa jurnalistik. 

Selanjutnya, permasalahan yang timbul dari contoh kedua di atas adalah penggunaan kata “di mana” dan sejenisnya di tengah-tengah kalimat pernyataan. Memang, kata “di mana” umumnya dikenal sebagai salah satu jenis kata tanya. Sehingga, akan terlihat tidak lazim ketika kata tersebut digunakan di tengah-tengah kalimat pernyataan. 

Namun, dalam buku Tata Bahasa Baku Bahasa Indonesia, tercantum bahwa kata “di mana” dan sejenisnya dapat berfungsi sebagai penghubung klausa dalam kalimat majemuk bertingkat. Kata itu menghubungkan klausa utama dan klausa sematan yang merupakan klausa subordinatif. Penyebabnya adalah ketika penjelasan yang terkandung dalam klausa sematan berhubungan dengan pertanyaan/ ketidakpastian/ jawaban yang tersirat, klausa sematan berbentuk klausa tanya yang ditandai oleh kata tanya seperti apakah, apa, siapa, kenapa, bagaimana; partikel –kah, atau oleh gabungan kata seperti dengan siapa, ke mana. Contoh: “Dia menceritakan bagaimana kehidupan di Timor Timur.” Tidakkah bentuk penggunaan kata tanya dalam kalimat itu sama dengan penggunaan kata tanya pada contoh kalimat kedua di atas? 

Jadi, bentuk-bentuk kalimat di atas bukan merupakan hasil pengaruh dari bahasa asing. Bukan juga merupakan “Bahasa Koran”. Namun, sudah merupakan bagian dari bentuk bahasa Indonesia yang baku.