ILMU MUHKAM DAN MUTASYABIH


ILMU MUHKAM DAN MUTASYABIH


MAKALAH

Disusun untuk memenuhi tugas Ulumul Quran
Dosen: Hj. Nur Asiyah M.Si.

Oleh :
NIHLATUN (093511028)
NUR KHASAN (093511030)
NUR SAIFI (093511031)
ROFIQO RAHMAWATI (093511033)


INSTITUT AGAMA ISLAM NEGERI WALISONGO SEMARANG
FAKULTAS TARBIYAH 
2010


ILMU MUHKAM DAN MUTASYABIH

I.          PENDAHULUAN
Alquran, selain merupakan wahyu, juga merupakan bagian kehidupan umat yang dapat membukakan mata hati dalam diri setiap insan. Firman Ilahi tersebut sudah dipandang sebagai kehidupan itu sendiri dan tidak semata-mata kitab biasa. Layaknya sebuah kehidupan, untuk dapat memahaminya biasanya diperlukan alat bantu yang kadang kala tidak sedikit.
Pada masa-masa permulaan turunnya, Alquran lebih banyak dihafal dan dipahami oleh para sahabat nabi SAW. Sehingga kemudian tidak ada alternatif lain bagi para sahabat kecuali berupaya menulisnya. Apabila tidak dituliskan, maka mutiara yang bernilai demikian luhur dikhawatirkan akan bercampur dengan hal-hal lain yang tidak diperlukan. Sehingga, firman Ilahi yang mengiringi kehidupan umat Islam (dan juga seluruh umat manusia) telah tersedia dalam bentuk tertulis, bahkan berbentuk sebuah kitab.
Oleh sebab itu, tidak dapat dihindari jika kemudian berkembang ilmu pengetahuan tentang Alquran yang tidak lain tujuannya untuk mempermudah dalam memahaminya. Salah satu ilmu pengetahuan tentang Alquran adalah ilmu muhkam dan mutasyabih, biasa diartikan sebagai ilmu yang menerangkan tentang ayat-ayat muhkamat dan mutasyabihat.

II.       RUMUSAN MASALAH
Berdasarkan pemaparan di atas, ada beberapa hal yang cukup urgen dipertanyakan sebagai wujud keingintahuan terhadap cabang ilmu ini. Adapun hal-hal tersebut adalah;
a.          Apakah yang dimaksud dengan muhkam dan mutasyabih itu sendiri?
b.         Mengapa masalah muhkam dan  mutasyabih itu muncul?
c.          Apa  macam-macam dari ayat-ayat mutasyabihat itu?
d.         Bagaimana pendapat para ulama tentang ayat-ayat mutasyabihat tersebut?
e.          Apa sajakah hikmah yang dapat diambil dengan adanya ayat-ayat muhkamat dan mutasyabihat?

III.    PEMBAHASAN
A.    Pengertian dan Dalil
Kata muhkam, secara etimologis, merupakan bentuk ubahan  dari kata ihkam yang artinya urusan itu baik atau pokok. Sedangkan muhkam ialah sesuatu yang dikokohkan, jelas, fasih, indah dan membedakan antara yang hak dan yang bathil.[1]
Dalam pengertian lain kata muhkam secara bahasa berarti kekukuhan, kesempurnaan, dan pencegahan. Namun, semua pengertian ini pada dasarnya kembali pada makna pencegahan. Ahkam al-amr berarti ia menyempurnakan sesuatu hal dan mencegahnya dari kerusakan[2]. Dengan pengertian ini, maka Alquran seluruhnya dapat dikatakan muhkam, sebagaimana yang ditegaskan oleh Allah dalam QS. Hud:1
ë=»tGÏ. ôMyJÅ3ômé& ¼çmçG»tƒ#uä §NèO ôMn=Å_Áèù `ÏB ÷bà$©! AOŠÅ3ym AŽÎ7yz
Artinya: “Inilah suatu kitab yang ayat-ayatnya disusun secara rapi serta dijelaskan secara terperinci yang dinuzulkan dari sisi Tuhan Yang Maha Bijaksana lagi Maha Mengetahui”

Adapun kata mutasyabih berasal dari kata dasar syabaha, yang berarti kemiripan, keserasian dan kesamaan (al-tamastsul). Para ulama, pada umumnya mengartikan mutasyabih dengan persamaan dan kesamaan yang mengarah kepada keserupaan dan kemiripan. Dengan pengertian ini, maka Alquran seluruhnya dapat dikatakan mutasyabih, jika yang dimaksud adalah kesamaan tingkatan kei’jazan dalam kefasihan bahasa, sehingga karena kesamaan kei’jazannya itu sulit untuk diterangkan kelebihannya masing-masing. Hal ini ditegaskan oleh Allah dalam QS. Al-Zumar ayat 23.
ª!$# tA¨tR z`|¡ômr& Ï]ƒÏptø:$# $Y6»tGÏ. $YgÎ6»t±tFB uÎT$sW¨B Ïèt±ø)s? çm÷ZÏB ߊqè=ã_ tûïÏ%©!$# šcöqt±øƒs öNåk®5u
Artinya: “Allah yang menurunkan perkataan yang paling baik yaitu Alquran yang mutasyabih dan berulang-ulang karenanya bergetarlah kulit orang-orang yang takut kepada Tuhan mereka”

Dalam diskursus ulum Alquran, pengertian muhkam dan mutasyabih bukan yang termaktub dalam dua ayat di atas . Diskursus muhkam dan mutasyabih dalam Ulumul Alquran termaktub dalam QS. Ali ‘Imran ayat 7 .
uqèd üÏ%©!$# tAtRr& y7øn=tã |=»tGÅ3ø9$# çm÷ZÏB ×M»tƒ#uä ìM»yJs3øtC £`èd Pé& É=»tGÅ3ø9$# ãyzé&ur ×M»ygÎ7»t±tFãB ( $¨Br'sù tûïÏ%©!$# Îû óOÎgÎ/qè=è% Ô÷÷ƒy tbqãèÎ6®KuŠsù $tB tmt7»t±s? çm÷ZÏB uä!$tóÏGö/$# ÏpuZ÷GÏÿø9$# uä!$tóÏGö/$#ur ¾Ï&Î#ƒÍrù's? 3 $tBur ãNn=÷ètƒ ÿ¼ã&s#ƒÍrù's? žwÎ) ª!$# 3 tbqãź§9$#ur Îû ÉOù=Ïèø9$# tbqä9qà)tƒ $¨ZtB#uä ¾ÏmÎ/ @@ä. ô`ÏiB ÏZÏã $uZÎn/u 3 $tBur ㍩.¤tƒ HwÎ) (#qä9'ré& É=»t6ø9F{$# ÇÐÈ  

Artinya: “Dia-lah yang menurunkan Al Kitab (Al Quran) kepada kamu. di antara (isi) nya ada ayat-ayat yang muhkamaat, Itulah pokok-pokok isi Al qur'an dan yang lain (ayat-ayat) mutasyabihat. adapun orang-orang yang dalam hatinya condong kepada kesesatan, Maka mereka mengikuti sebahagian ayat-ayat yang mutasyabihat daripadanya untuk menimbulkan fitnah untuk mencari-cari ta'wilnya, padahal tidak ada yang mengetahui ta'wilnya melainkan Allah. dan orang-orang yang mendalam ilmunya berkata: "Kami beriman kepada ayat-ayat yang mutasyabihat, semuanya itu dari sisi Tuhan kami." dan tidak dapat mengambil pelajaran (daripadanya) melainkan orang-orang yang berakal.”[3]

Secara sepintas, ketiga ayat ini menimbulkan pemahaman yang bertentangan. Karena itu, Ibn Habib Al-Naisaburi menceritakan adanya tiga pendapat tentang masalah ini. Pertama pendapat bahwa Alquran seluruhnya muhkam berdasarkan ayat yang pertama. Kedua berpendapat bahwa Alquran seluruhnya mutasyabih berdasarkan ayat kedua. Ketiga berpendapat bahwa sebagian ayat Alquran muhkam dan lainnya mutasyabih berdasarkan ayat ketiga dan inilah pendapat yang lebih sahih.[4]
Sedangkan menurut Ibn ’Abbas, muhkam adalah ayat yang penakwilannya hanya mengandung satu makna, sedangkan mutasyabih adalah ayat yang mengandung banyak pengertian[5]. Lain halnya dengan Al- Zarqani yang mengemukakan bahwa muhkam ialah ayat yang jelas maksudnya lagi nyata yang tidak mengandung kemungkinan nasakh, dan mutasyabih ialah ayat yang tersembunyi (maknanya), tidak diketahui maknanya baik secara aqli maupun naqli, dan inilah ayat-ayat yang hanya Allah yang mengetahuinya, seperti datangnya hari kiamat, huruf-huruf yang terputus-putus di awal- awal surat. Pendapat ini dibangsakan Al-Alusi kepada pemimpin-pemimpin mazhab Hanafi[6],
Jadi, Muhkam ialah lafal yang artinya dapat diketahui dengan jelas dan kuat secara berdiri sendiri tanpa dita’wilkan karena susunan terbitnya tepat, dan tidak musykil, karena pengertiannya masuk akal, sehingga dapat diamalkan karena tidak dinasakh.
Sedangkan pengertian Mutasyabih  ialah lafal Alquran yang arinya samar, sehingga tidak dapat dijangkau akal manusia karena bisa dita’wilkan macam-macam sehingga tidak dapat berdiri sendiri karena susunan terbitnya kurang tepat sehingga menimbulkan kesulitan disebabkan penunjukan artinya kurang kuat, sehingga cukup diyakini adanya saja dan tidak perlu diamalkan, karena merupakan ilmu yang hanya dimonopoli oleh Alah SWT[7].

B.     Sebab-Sebab Terjadinya Tasyabuh dalam Alquran
Penyebab terjadinya tasyabuh dalam Alquran adalah karena adanya ketersembunyian maksud. Dalam hal ini termasuk:[8]
a.       Ketersembunyian pada lafal, contoh
ZpygÅ3»sùur $|/r&ur ÇÌÊÈ $Yè»tG¨B ö/ä3©9 ö/ä3ÏJ»yè÷RL{ur ÇÌËÈ
Artinya: “Dan buah-buahan serta rumput-rumputan,Untuk kesenanganmu dan untuk binatang-binatang ternakmu”(Q.S. ‘Abasa: 31-32).
Lafal $|/r& di ayat 31 terasa ganjil dan jarang digunakan, karena ayat tersebut diartikan rumput-rumputan berdasarkan pemahaman dari ayat 32.
b.      Ketersembunyian pada makna
Dalam hal ini, biasanya ayat-ayat mutasyabihat tentang sifat-sifat Tuhan seperti:
¨ßtƒ «!$# s-öqsù öNÍkÉ÷ƒr&
Artinya: “Tangan Allah di atas tangan mereka” (Q.S. Al-Fath: 10)
Dari ayat di atas, terdapat kata “tangan” yang dijadikan sifat bagi Allah. Kata itu menunjukkan anggota yang layak bagi makhluk baharu, tetapi dalam ayat tersebut kata itu dibangsakan kepada Allah yang bersifat qodim, maka sulit dipahami maksud sebenarnya.
c.       Ketersembunyian pada lafal dan makna sekaligus, contoh:
}§øŠs9ur ŽÉ9ø9$# br'Î/ (#qè?ù's? šVqãŠç6ø9$# `ÏB $ydÍqßgàß £`Å3»s9ur §ŽÉ9ø9$# Ç`tB 4s+¨?$# 3 (#qè?ù&ur šVqãç7ø9$# ô`ÏB $ygÎ/ºuqö/r& 4 (#qà)¨?$#ur ©!$# öNà6¯=yès9 šcqßsÎ=øÿè? ÇÊÑÒÈ
"… Dan bukanlah kebajikan memasuki rumah-rumah dari belakangnya, Akan tetapi kebajikan itu ialah kebajikan orang yang bertakwa. Dan masuklah ke rumah-rumah itu dari pintu-pintunya; dan bertakwalah kepada Allah agar kamu beruntung.
Ketersembunyian maksud ayat ini kembali pada lafal karena ringkasnya. Sekiranya dibentangkan maksudnya maka bunyinya demikian.
}§øŠs9ur ŽÉ9ø9$# br'Î/ (#qè?ù's? šVqãŠç6ø9$# `ÏBْ $ydÍqßgàß اِذَاكُنْتُمْ مُحْرِمِيْنَ بِحَجٍّ اَوْعُمْرَةٍ
Ketersembunyian maksudnya juga kembali kepada makna karena di samping membentangkan lafalnya harus pula mengetahui adat bangsa Arab di masa Jahiliyah.
C.    Macam-Macam Ayat-Ayat Mutasyabihat
Sesuai dengan sebab-sebab adanya ayat-ayat mutasyabihat dalam Alquran, maka ayat-ayat tersebut dikelompokkan menjadi tiga macam, yaitu:[9]
1.      Ayat-ayat mutasyabihat yang tidak dapat diketahui oleh seluruh umat manusia, kecuali Allah SWT. Contohnya, seperti Dzat Allah SWT, hakikat sifat-sifat-Nya, waktu datangnya hari kiamat, dan hal-hal ghaib lainnya. Seperti keterangan ayat 59 surah Al-An’am:
 ¼çnyYÏãur ßxÏ?$xÿtB É=øtóø9$# Ÿw !$ygßJn=÷ètƒ žwÎ) uqèd Þ
Artinya: “Dan pada sisi Allah-lah kunci-kunci semua yang ghaib; tidak ada yang mengetahuinya kecuali dia sendiri.”

Dan seperti isi ayat 34 surah Lukman:
¨bÎ) ©!$# ¼çnyYÏã ãNù=Ïæ Ïptã$¡¡9$# Íit\ãƒur y]øtóø9$# ÞOn=÷ètƒur $tB Îû ÏQ%tnöF{$# ( $tBur Íôs? Ó§øÿtR #sŒ$¨B Ü=Å¡ò6s? #Yxî ( $tBur Íôs? 6§øÿtR Ädr'Î/ <Úör& ßNqßJs?
Artinya: “Sesungguhnya Allah, hanya pada sisi-Nya sajalah pengetahuan tentang hari Kiamat; dan Dia-lah yang menurunkan hujan, dan mengetahui apa yang ada dalam rahim dan tiada seorangpun yang dapat mengetahui (dengan pasti) apa yang akan diusahakannya besok. dan tiada seorangpun yang dapat mengetahui di bumi mana dia akan mati.”

2.      Ayat-ayat mutasyabihat yang dapat diketahui oleh semua orang maksudnya. Hal ini dapat dilakukan dengan jalan pembahasan dan pengkajian/ penelitian yang mendalam. Contohnya, ayat-ayat mutasyabihat yang kesamarannya timbul akibat ringkas, panjang, urutan, dan seumpamanya.
Jadi, dalam menyikapi ayat-ayat ini adalah merinci yang mujmal, menentukan yang musytarak, menqayidkan yang mutlak, menertibkan yang kurang tertib, dan sebagainya. Seperti dalam firman Allah Q.S. An-Nisa ayat 3:
4 ÷bÎ)ur ÷LäêøÿÅz žwr& (#qäÜÅ¡ø)è? Îû 4uK»tGuø9$# (#qßsÅ3R$$sù $tB z>$sÛ Nä3s9 z`ÏiB Ïä!$|¡ÏiY9$#
Artinya: “Dan jika kamu takut tidak akan berlaku adil terhadap (hak-hak) perempuan yang yatim, maka kawinilah wanita-wanita (lain).”
Maksud ayat ini tidak jelas dan ketidakjelasannya timbul karena lafalnya yang ringkas. Kalimat asalnya berbunyi:[10]
وَِانْ خِفْتُمْ اَنْ لاَ تُقْسِطُوْا فِى الْيَتمى اِذَا تَزَوَّجْتُمْ بِهنَّ فَا نْكِحُوْا ماَ طَابَ لَكُمْ مِنَ النِّسَاء ِ
Artinya: “Dan jika kamu takut tidak akan dapat berlaku adil terhadap perempuan yang yatim sekiranya kamu kawini mereka, maka kawinilah wanita-wanita selain mereka.”
3.      Ayat-ayat mutasyabihat yang hanya dapat diketahui oleh para pakar ilmu dan sain, bukan oleh semua orang. Ahmad Syadzali dalam bukunya tipe yang ketiga ini lebih menspesifikkan lagi. Ia menyatakan maksudnya ayat-ayat tersebut hanya dapat diketahui oleh para ulama tertentu dan bukan semua ulama. Jadi bukan semua ulama apalagi orang awam yang dapat mengetahui maksudnya.
Allah berfirman dalam Surat Ali Imran ayat 7:
u$tBur ãNn=÷ètƒ ÿ¼ã&s#ƒÍrù's? žwÎ) ª!$# 3 tbqãź§9$#ur Îû ÉOù=Ïèø9$#
Artinya: “Padahal tidak ada yang mengetahui ta'wilnya melainkan Allah. Dan orang-orang yang mendalam ilmunya”
Dalam pengertian yang sama, Al-Raghib Al-Ashfahani memberikan penjelasan yang mirip. Menurut dia, ayat-ayat mutasyabihat terbagi menjadi tiga jenis, yaitu jenis yang tidak ada jalan untuk mengetahuinya, seperti waktu kiamat, keluarnya dabbah (binatang), dan sebagainya; jenis yang dapat diketahui manusia seperti lafal-lafal yang ganjil (gharib) dan hukum yang tertutup, dan jenis yang hanya diketahui oleh ulama tertentu yang sudah mendapat ilmu. Jenis terakhir inilah yang disyaratkan Nabi dengan doanya bagi Ibnu Abbas:[11]
اَللّهُمَّ فَقِّهْهُ فِى الدِّيْنِ وَعَلِّمْهُ التَّأْوِيْلَ
Artinya: “Ya Tuhanku, jadikanlah dia seorang yang paham dalam Agama, dan ajarkanlah kepadanya takwil.”


D.    Pendapat Ulama tentang Ayat-Ayat Mutasyabihat
Pada dasarnya perbedaan pendapat para Ulama dalam menanggapi sifat-sifat mutasyabihat dalam Alquran dilatarbelakangi oleh perbedaan pemahaman atas firman Allah SWT dalam Alquran Surah Ali Imran ayat 7.
Subhi Al-Shalih membedakan pendapat para ulama ke dalam dua mazhab, yaitu:
1.            Mazhab Salaf
Yaitu orang-orang yang mempercayai dan mengimani sifat-sifat mutasyabihat ini dan menyerahkan hakikatnya kepada Allah sendiri.[12] Para Ulama Salaf mengharuskan kita berwaqaf (berhenti) dalam membaca QS. Ali imran : 7 pada lafal jalalah. Hal ini memberikan pengertian bahwa hanya Allah yang mengerti takwil dari ayat-ayat mutasyabihat yang ada. Mazhab ini juga disebut mazhab Muwaffidah atau Tafwid

.
2.            Mazhab Khalaf
Yaitu orang-orang yang mentakwilkan (mempertangguhkan) lafal yang mustahil dzahirnya kepada makna yang layak dengan zat Allah. [13] Dalam memahami QS. Ali-Imran : 7 mazhab ini mewaqafkan bacaan mereka pada lafal “Warraasikhuuna fil ‘Ilmi”. Hal ini memberikan pengertian bahwa yang mengetahui takwil dari ayat-ayat mutasyabih adalah Allah dan orang-orang yang Rasikh (mendalam) dalam ilmunya. Mazhab ini disebut juga Mazhab Muawwilah atau Mazhab Takwil.
Berikut ini adalah beberapa contoh sifat-sifat mutasyabih yang menjadikan perbedaan pendapat antara mazhab Salaf dan mazhab Khalaf:
1.         Lafal “Ístawa” pada Alquran surah Thaha ayat 5. Allah berfirman:
ß`»oH÷q§9$# n?tã ĸöyèø9$# 3uqtGó$# ÇÎÈ
Artinya: “(yaitu) Tuhan yang Maha Pemurah. yang bersemayam di atas 'Ars.
Dalam ayat ini diterangkan bahwa pencipta langit dan bumi ini adalah Allah Yang Maha Pemurah yang bersemayam di atas Arsy.
Menurut mazhab Salaf, arti kata Istiwa’ sudah jelas, yaitu bersemayam (duduk) di atas Arsy (tahta). Namun tata cara dan kafiatnya tidak kita ketahui dan diharuskan bagi kita untuk menyerahkan sepenuhnya urusan mengetahui hakikat kata Istiwa’ itu kepada Allah sendiri.
Pernah ditanyakan kepada Imam Malik tentang makna Istiwa’, maka beliau menjawab:
اَلاِسْتِوَاءُ مَعْلُوُمٌ وَالْكَيْفُ مَجْهُوْلٌ وَالسُّؤَالُ عَنْهُ بِدْعَةٌ وَاَظُنُّكَ رَجُلُ السُّوْءِ اَخْرِجُوْهُ عَنِّيْ

Artinya: “Istiwa’ itu ma’lum, caranya tidak diketahui, mempertanyakannya adalah bid’ah (mengada-ada). Saya kira engkau ini adalah orang jahat. Keluarkan olehmu orang ini dari majlis saya.”
Berkata Ibnu Kasir dalam tafsirnya, bahwa jalan yang paling selamat mengenai hal ini adalah jalan yang telah ditempuh oleh ulama salaf karena hal ini sepenuhnya adalah termasuk wewenang Allah semata-mata dan tidak dibenarkan sama sekali makhluk campur tangan.[14]
Sedangkan mazhab Khalaf memaknakan Istiwa’ dengan ketinggian yang abstrak berupa pengendalian Allah terhadap alam ini tanpa merasa kepayahan. [15]
2.         Lafal “yadun”  pada Alquran surah al-fath ayat 10. Allah berfirman:
¨bÎ) šúïÏ%©!$# y7tRqãè΃$t6ム$yJ¯RÎ) šcqãè΃$t7ム©!$# ßtƒ «!$# s-öqsù öNÍkÉ÷ƒr& 4
Artinya: ”Bahwasanya orang-orang yang berjanji setia kepada kamu Sesungguhnya mereka berjanji setia kepada Allah[1396]. tangan Allah di atas tangan mereka.”
Pada ayat di atas terdapat lafal yadun yang secara bahasa berarti tangan. Para ulama salaf mengartikan sebagaimana adanya dan menyerahkan hakikat maknanya kepada Allah. Sedangkah ulama Khalaf memaknai lafal yadun dengan “kekuasaan” karena tidak mungkin Allah itu mempunyai tangan seperti halnya pada makhluk.

3.         Lafal Ainun pada Alquran surah Thaha ayat 39. Allah berfirman :
yìoYóÁçGÏ9ur 4n?tã ûÓÍ_øtã
Artinya: “ dan supaya kamu dibawah pengawasanku.”
Lafal Ainun dari segi lafdziyyah mempunyai arti mata. Menurut mazhab khalaf, lafal Ainun  dalam ayat di atas bermakna pengawasan Allah kepada Nabi Musa yang dihanyutkan di Sungai Nil pada masa Raja Fir’aun.
Adapun contoh yang lain terdapat dalam QS.Al-Fajr : 22, QS. Al-An’am : 61, QS. Al-Zumar : 56, QS. Al-Rahman : 27, QS.Ali-Imran: 28. Dalam ayat-ayat tersebut terdapat kata-kata “datang”, “di atas”, “sisi”, “wajah”, dan “diri” yang dijadikan sifat bagi Allah. Namun, ulama khalaf memaknai kata-kata tersebut sebagai: “kedatangan perintah-Nya”, “Maha Tinggi, bukan berada di suatu tempat”, “hak”, “zat”,dan ”siksa”.

E.     Hikmah Adanya Ayat-Ayat Muhkamat dan Mutasyabihat
a.      Hikmah Ayat-Ayat Muhkamat
Adanya ayat-ayat Muhkamat dalam kitab Alquran, jelas banyak faedah/hikmahnya bagi umat manusia, sebagai berikut:
i.        Menjadi rahmat bagi umat manusia, khususnya orang yang kemampuan bahasa Arabnya lemah. Karena, mereka tidak perlu susah-susah mempelajari apa arti maksud ayat itu.
ii.      Memudahkan manusia dalam menghayati dan mengetahui makna maksudnya sehingga mudah mengamalkan pelaksanaan ajaran-ajarannya. Karena, lafal ayat-ayatnya sudah mudah diketahui, gampang dipahami, dan jelas pula untuk diamalkan.
iii.    Menghilangkan kesulitan dan kebingungan umat dalam mempelajari isi ajarannya.
iv.    Memperlancar usaha penafsiran kandungan ayat-ayat Alquran.
v.      Membantu para guru, dosen, muballigh, dan juru dakwah dalam usaha menerangkan isi ajaran kitab Alquran dan tafsiran ayat-ayatnya kepada masyarakat.
vi.    Mempercepat usaha tahfidhul Qur’an (menghafalkan ayat-ayat Alquran). Sebab, ayat yang mudah diketahui artinya itu lebih mudah penghafalannya daripada yang tidak diketahui arti maksudnya.

b.      Hikmah Ayat-Ayat Mutasyabihat
Adanya ayat-ayat mutasyabihat dalam Alquran membawa faedah/ hikmah yang banyak juga. Bahkan, lebih banyak daripada hikmah ayat-ayat muhkamat di atas. Adapun hikmahnya adalah sebagai berikut;
                                            i.      Sebagai rahmat Allah SWT. Hal ini jelas sekali, karena jika tidak disamarkan, bisa jadi merupakan siksaan bagi mereka, terutama mereka yang tidak tahan menzahirkannya.
                                          ii.      Ujian dan cobaan terhadap kekuatan iman umat manusia.
                                        iii.      Membuktikan kelemahan dan kebodohan manusia.
                                        iv.      Mendorong umat untuk giat belajar, tekun menalar, dan rajin meneliti.
                                          v.      Memperlihatkan kemukjizatan Alquran, ketinggian mutu sastra dan balaghahnya, agar manusia menyadari sepenuhnya bahwa kitab itu bukanlah buatan manusia biasa, melainkan wahyu ciptaan Allah SWT.
                                        vi.      Memudahkan orang dalam memahami Alquran. Sebab, adanya ayat-ayat yang mutasyabihat tersebut pasti mendorong seseorang untuk serius menghadapinya. Sehingga, dengan sendirinya akan lebih meresapkan hasil-hasil usahanya itu yang pada gilirannya dapat mempermudah segalanya.
                                      vii.      Menambah pahala umat manusia, dengan bertambah sukarnya memahami ayat-ayat mutasyabihat. Sebab, semakin sukar kerjaan orang, akan semakin besar pahalanya.
                                    viii.      Mendorong kegiatan mempelajari disiplin ilmu pengetahuan yang bermacam-macam. Sebab, adanya ayat-ayat mutasyabihat dalam Alquran, mendorong orang-orang yang akan mempelajarinya harus lebih dahulu mempelajari beberapa disiplin ilmu yang terkait dengan berbagai isi ajaran Alquran yang bermacam-macam. Seperti Ilmu matematika, bahasa, kimia, fisika, dan sebagainya.

IV.    KESIMPULAN
Dari definisi-definisi tentang muhkam dan mutasyabih di atas, kami dapat menyimpulkan bahwa muhkam adalah suatu lafadz yang artinya dapat diketahui dengan jelas dan kuat berdiri sendiri serta mudah dipahami. Sedangkan mutasyabih adalah suatu lafadz yang artinya samar, maksudnya tidak jelas dan sulit bisa ditangkap karena mengandung penafsiran yang berbeda-beda dan bisa jadi mengandung pengertian arti yang bermacam-macam.
Adapun penyebab terjadinya tasyabuh dalam Alquran adalah ketersembunyian dalam makna dan lafal. Sedangkan macam-macam ayat mutasyabih ada tiga; ayat yang tidak dapat diketahui artinya kecuali oleh Allah, ayat yang dapat diketahui artinya dengan jalan pembahasan, dan ayat yang dapat diketahui artinya oleh ulama tertentu.
Pandangan ulama mengenai ayat-ayat mutasyabihat dan dipahami manusia atau tidak ada dua pendapat. Sebagian ulama ada yang mengatakan bahwa arti dan ayat-ayat mutasyabihat dapat diketahui oleh umat manusia, dan ulama yang lain mengatakan bahwa umat manusia tidak dapat mengetahuinya.
Di antara hikmah ayat-ayat muhkamat adalah memberi rahmat pada manusia, khususnya orang yang bahasa Arabnya lemah, memudahkan manusia mengetahui arti dan maksudnya juga memudahkan mereka menghayati makna maksudnya agar mudah melaksanakan ajaran-ajarannya. Sedangkan hikmah dari ayat-ayat mutasyabihat salah satunya adalah menambah pahala usaha umat manusia, dengan bertambah sukarnya memahami ayat-ayat mutasyabih sebab semakin sukar pekerjaan seseorang maka akan semakin besar jugalah pahalanya.

V.       PENUTUP
Demikian makalah yang dapat kami sampaikan. Sebagai insan yang dlaif  tentunya masih banyak kekurangan dalam penulisan makalah ini. Kritik dan saran sangat kami harapkan dari pembaca sekalian untuk perbaikan dan evaluasi dari apa yang penulis dapat sajikan.













[1] Supiana dkk., Ulumul Quran, (Jakarta:Pustaka Islamika, 1994), hlm. 185
[2] Ahmad syadali dkk., Ulumul Quran I, (Bandung:Pustaka setia, 2000), cet.II, hlm. 199
[3] Supiana, dkk., op.cit, hlm. 186-187
[4] Ahmad Syadali, dkk., op.cit, hlm. 201
[5] Supiana, dkk., op.cit, hlm. 187
[6] Ahmad Syadali, dkk., op.cit, hlm. 201-202
[7] Abdul Djalal H.A., Ulumul Quran, (Surabaya:Dunia Ilmu, 2000), cet.II, hlm.243
[8] Ahmad Syadali, dkk. Op.cit. hal. 204-206
[9] Abdul Djalal H.A., Op.cit., hlm.251-253
[10] Ahmad Syadali, op.cit., hlm.207
[11] Ibid., hlm. 208
[12] Ibid., hlm. 211
[13] Teungku Muhammad Hasbi Ash Shiddieqy. Ilmu-ilmu Ulumul Al Quran, (Semarang : Pustaka Rizki Putra,  2002), hlm. 173
[14] Bustami A Gani, dkk., Alqur’an dan Tafsirnya. (Semarang: Citra Effhar.1993). hlm. 124
[15] Ahmad syadali,dkk. Op.cit., hlm. 217

DAFTAR PUSTAKA

Asshiddieqy, Teungku Muhammad Hasbi.2002.Ilmu-Ilmu Ulumul Al Quran, Semarang:Pustaka Rizki Putra.

Gani, Bustami A, dkk.1993.Alqur’an dan Tafsirnya.Semarang:Citra Effhar.

H.A., Abdul Djalal.2000.Ulumul Quran.Surabaya:Dunia Ilmu.

Supiana, dkk.1994.Ulumul Quran.Jakarta:Pustaka Islamika.

Syadali, Ahmad, dkk.2000.Ulumul Quran I.Bandung:Pustaka setia.