SEKTE KHAWARIJ


SEKTE KHAWARIJ

MAKALAH

Disusun untuk Memenuhi Tugas
Mata Kuliah: Tauhid
Dosen: Drs. Syamsudin Yahya, M.Ag.

Oleh :
ROFIQO RAHMAWATI (093511033)
SEPTI DINI LESTARI (093511035)
TRI ISNAINI (103111103)

FAKULTAS TARBIYAH
INSTITUT AGAMA ISLAM NEGERI WALISONGO SEMARANG
2010

SEKTE KHAWARIJ

I.             PENDAHULUAN
Wafatnya Rasulullah SAW menjadikan umat Islam untuk memikirkan pengganti beliau. Sayangnya, Rasulullah SAW sendiri tidak pernah menentukan siapakah penggantinya dan tidak pula menerangkan bagaimana cara pemilihannya. Padahal, kedua hal tersebut tentunya ikut menentukan keberhasilan jalan yang akan ditempuh oleh umat Islam selanjutnya.[1]
Akibatnya, sebagaimana yang tercatat dalam sejarah, umat Islam menghadapi masalah yang paling berat dalam perjalanannya. Pertentangan yang hebat terjadi antara umat Islam di mana pendapat mereka mengenai pengganti Rasulullah SAW berbeda-beda.[2] Keadaan tersebut berbuntut panjang sampai menyeret ranah teologi.
Sejarah Islam klasik[3] mencatat bahwa pada masa itu lahir beberapa sekte dalam ilmu kalam yang sebenarnya lebih berorientasi politik. Salah satu di antaranya adalah sekte Khawarij.[4]

II.          RUMUSAN MASALAH
Berdasarkan pemaparan di atas, ada beberapa hal yang cukup urgen dipertanyakan sebagai wujud keingintahuan terhadap hal tersebut. Di antaranya adalah sebagai berikut;
a.    Bagaimana sejarah timbulnya sekte Khawarij?
b.   Bagaimanakah prinsip-prinsip sekte Khawarij itu?
c.    Apa sajakah sub-sekte Khawarij itu?
d.   Bagaimanakah kondisi sekte Khawarij sekarang ini?

III.       PEMBAHASAN
A.    Sejarah Timbulnya Sekte Khawarij
Pada masa Abu Bakar dan Umar ibn al-Khattab, golongan-golongan yang muncul sewaktu pengangkatan khalifah yang pertama tidak lenyap melainkan hanya diam. Hal ini disebabkan keadilan dan kebijaksanaan kedua khalifah. Selain itu, kedua khalifah pun juga tidak memperdulikan fanatisme kesukuan.[5]
Namun, semenjak tahun ke-7 dari pemerintahan khalifah yang ketiga (Usman ibn Affan) perseteruan yang nyata di antara umat Islam mulai muncul dan kembali mencuat pada masa pemerintahan khalifah keempat (Ali ibn Abi Thalib). Penyebabnya adalah kedua khalifah tersebut dianggap telah melakukan tindak penyelewengan.[6]
Usman dianggap telah melakukan nepotisme dalam tindakan politiknya. Ahli sejarah menggambarkan Usman sebagai orang yang lemah dan tak sanggup menentang ambisi keluarganya yang kaya dan berpengaruh. Ia mengangkat gubernur-gubernur dari keluarganya. Bahkan, gubernur yang diangkat oleh Umar dijatuhkannya. Sehingga, pada masa itu orang-orang yang semula ingin menjadi khalifah atau yang ingin calonnya menjadi khalifah mulai menangguk di air keruh. Kondisi itu pun berlanjut sampai lahirnya kaum pemberontak yang akhirnya juga berbuntut pada pembunuhan Usman sendiri.[7]
Demikian halnya, sikap Ali yang menerima tahkim (arbitrase) sebagai kelanjutan dari perang shiffin[8] telah membuat rakyatnya terpecah. Ada segolongan  orang dari rakyatnya yang keluar dari pihak Ali. Akan tetapi, golongan tersebut juga tidak berada di pihak Muawiyah.[9] Baik Ali maupun Muawiyah, keduanya adalah kubu yang mereka benci.
Adapun alasan mereka tidak memihak kepada salah satu kubu pun  adalah karena Ali dipandang terlalu lemah dalam menegakkan kebenaran. Sedangkan, Muawiyah dipandang telah melawan pada khalifah yang syah yaitu Ali.[10]
Padahal, jika dirunut dalam sejarah, banyak para penulis sejarah Islam yang menggambarkan bahwa merekalah yang mulanya menekan dan mengancam Ali supaya menghentikan pertempuran dan menerima tahkim. Sebagaimana yang disebutkan dalam Al Milal wa Al Nihal, pada mulanya Ali ibn Abi Thalib memilih Abdullah ibn Abbas sebagai arbitrator. Namun, penunjukan itu ditolak oleh kaum khawarij dengan alasan bahwa Abdullah masih keluarga Ali. Bahkan, merekalah yang mengusulkan Abu Musa Al-Asy’ari untuk menetapkan keputusan sesuai ketentuan Al-Qur’an.[11]
Anehnya, di tengah perjalanan mereka yang awalnya memaksa itu merasa bersalah besar. Mereka menyesal bahwa pertempuran sudah dihentikan dan menginginkan supaya rencana tahkim yang akan dilaksanakan pada bulan Ramadlan 37H dibatalkan saja. Ketika itu, pasukan Ali pulang menuju Kufah sedangkan mereka keluar dari barisan menuju Harura[12].
Kendati pihak Ali sudah berusaha mengajak mereka agar kembali bergabung, namun mereka tetap memisahkan diri. Mereka mau kembali dengan syarat: Ali harus mengaku salah dan bahkan harus mengaku telah kafir karena kesalahan itu; Ali harus bertaubat dan membatalkan tahkim.[13]
Keadaan tersebut berlanjut sampai tahkim tiba dimana Ali tidak mau mengaku kafir dan hasil tahkim pun mengecewakan. Sehingga, mereka dalam jumlah lebih kurang 12.000 orang tetap saja berhimpun di Harura dan mengangkat Abdullah bin Wahab al-Rasibi sebagai pemimpin tertinggi mereka.[14] Mereka inilah inilah yang oleh sebagian orang disebut dengan sekte Khawarij.
Istilah Khawarij berasal dari kata bahasa arab kharaja yang berarti keluar. Sebutan itu diberikan kepada sekelompok orang yang keluar dari barisan Ali.[15] Taib Thahir Abdul Mu’in menyatakan bahwa sekte khawarij adalah sekte yang semula merupakan pengikut Ali dan kemudian keluar dari barisan Ali karena tidak setuju dengan adanya tahkim.[16]
Namun, dalam Al Milal Wa al Nihal disebutkan bahwa istilah khawarij dipergunakan untuk menyebut kelompok masyarakat yang memberontak dan tidak mengakui keabsahan imam yang sah. Baik pada zaman sahabat, terhadap khulafaurrasyidin atau pada masa tabi’in atau terhadap imam-imam yang sah di sepanjang masa.[17]
Abdul Aziz Dahlan menambahkan bahwa nama itu diberikan oleh kalangan yang berada diluar mereka.[18] Senang atau tidak, mereka harus menerima penamaan seperti itu. Akibatnya, mereka berusaha untuk memberi konotasi yang baik dengan menisbahkan nama itu dengan ayat Al-Quran. Seperti, Q.S. An-Nisa’:100 yang mengandung arti bahwa mereka memandang diri mereka sebagai orang-orang yang mengabdikan dirinya kepada Allah dan Rasulullah SAW.[19]
Adapun sebutan lain yang mereka berikan sendiri dan tentu mereka senangi adalah Syurah yang secara harfi berarti penjual. Mereka memandang diri mereka sebagai orang-orang yang menjual (mengorbankan) diri mereka demi mendapatkan keridhaan Allah SWT. Sebagaimana yang diterangkan dalam Q.S.Al-Baqarah:207. Selain itu, ada beberapa nama yang menjadi julukan untuk mereka. Diantaranya; Haruriyah, al-Mariqah[20] dan  al-Muhakkimah.[21]
Jadi, sekte Khawarij adalah sekte yang muncul sebagai pemberontak terhadap pemerintah karena khalifah yang sedang memegang tampuk pemerintahan dianggap telah menyeleweng.  Adapun sekte ini sudah mulai mencuat di akhir masa kepemimpinan Usman dan keadaan mereka semakin buruk pada masa pemerintahan Ali, yaitu sejak adanya tahkim (arbitrase).

B.     Prinsip-Prinsip Sekte Khawarij
Mayoritas kaum khawarij adalah orang-orang Arab Baduwi yang berhati keras dan kasar serta tidak gentar terhadap maut. Sebagai orang yang hidupnya di padang pasir yang kejam, kurang komunikasi dengan dunia luar, sehingga fahamnya sangat sederhana, fikiran dan pandangannya sempit lagi fanatik. Selain itu, sikap mereka keras dan tidak mempunyai jiwa toleransi sedikit pun, apalagi terhadap penyeleweng agama.[22]
Abu Zahrah menambahkan bahwa di dalam ucapan dan perdebatan mereka fasih dan lancar berbicara serta menguasai metode penyajian. Senantiasa berpegang kepada makna lahir al-Qur’an tanpa mau mengkaji maksud, tujuan, dan konteks nash. Mereka juga gemar berdebat dan berdiskusi sekalipun dengan lawan dan dalam peperangan. Tidak akan menerima dan mengakui pendapat lawan debat walaupun pendapat itu dekat dengan kebenaran.[23]
Kaum Khawarij berprinsip bahwa jabatan khalifah harus dari hasil pemilihan bebas umat Islam.[24] Semua bangsa mempunyai hak yang sama asal Islam.[25] Jadi, jabatan khalifahh bukan khusus keluarga arab tertentu dan bukan pula monopoli suku Quraisy sebagaimana dianut golongan lain.
Bahkan, bagian dari sekte ini ada yang memandang bahwa pengangkatan khalifah tidak diperlukan jika masyarakat dapat menyelesaikan maslahnya sendiri.[26] Dalam kitab Ghayatul Maram fi Ilmil Kalam disebutkan
               [27]
 Selain itu, seorang khalifah akan tetap pada jabatannya selama ia berlaku adil, melaksanakan syari’at serta jauh dari kesalahan dan penyelewengan.[28] Jika khalifah itu cacat dan berlaku tidak adil, boleh keluar dan tidak mematuhi aturan-aturannya.[29] Bahkan,  ia wajib dipecat atau dibunuh.[30]
Kaum Khawarij memandang orang yang melakukan penyelewengan terhadap ajaran agama (al-Qur’an), telah melakukan dosa besar. Sehingga, jika tidak mau bertaubat maka dihukumi kafir.[31]
Khalifah Usman, Ali, dan orang-orang yang turut dalam peperangan Jamal serta yang setuju adanya tahkim dipandang telah melakukan penyelewengan. Akibatnya, kaum Khawarij mengkafirkan mereka.[32]
Tidak hanya itu, mereka juga merencanakan untuk membunuh Ali, Muawiyah, dan Amr ibn Ash. Menurut riwayat, Abdurrahman ibn Muljam bertugas membunuh Ali, Al-Barak harus membunh Muawiyah, Umar ibn Abi Bakir mendapat bagian Amr ibn Ash.[33]
Pandangan mereka itu didasarkan pada Q.S. Ali Imran: 97 & 106, Q.S. Al-Maidah:44, Al-An’am:33, dan Q.S. ‘Abasa:38-42.[34] Namun, tanpa mereka sadari, sebenarnya semua dalil itu dipahami dalam bentuk makna lahir ayat. Karenanya, kebanyakan ayat itu menjelaskan peristiwa tentang orang musyrik Mekah sehingga sifat-sifat yang digambarkan adalah ditujukan kepada orang musyrik Mekah.[35]
Prinsip-prinsip yang penulis sebutkan di atas merupakan prinsip yang disepakati oleh semua Khawarij. Tetapi setelah sekete Khawarij mengalami perpecahan menjadi sub-sekte yang banyak sekali, tiap-tiap  sub-sekte menambahi dan melampaui pokok-pokok prinsip di atas.

C.    Sub-Sekte Khawarij
Telah dituliskan sebelumnya bahwa kaum Khawarij adalah ahli debat (suka mematahkan argumen lawan). Sehingga, tidak mengherankan jika perbedaan pendapat mudah timbul di antara mereka.
Dalam pandangan Abdul Aziz Dahlan, sebenarnya kata khawarij sendiri secara tersirat menunujukkan watak kaum Khawarij yang terlalu mudah memisahkan diri dari kelompok induk, sehingga timbullah sub-sekte yang banyak.[36]
Sub-sekte Khawarij mulai timbul setelah kekalahan besar yang dialami mereka dalam pembersihan di Nahrawan oleh tentara Ali. Kejadian itu menyebabkan mereka terpecah menjadi golongan kecil yang mempunyai pendirian sendiri ada yang keras dan moderat.[37]
Namun, meskipun demikian sub-sekte yang timbul itu jarang sekali sampai menimbulkan peperangan.[38] Hal ini disebabkan karena timbulnya sub-sekte tersebut hanya sebatas permasalahan prinsip saja.
Adapun sub-sekte yang dimaksud, di antaranya adalah;
1.      Al-Azariqah
Pemimpinnya bernama Nafi’ Ibn al-Azraq, termasuk ahli fiqh yang masyhur  dari sekte Khawarij. Menurut mereka semua orang Islam kecuali golongan mereka sendiri adalah kafir[39]. Demikian juga dihukumkan musyrik orang-orang yang mengakui al-Azariqah namun tidak kuat pindah bersama-sama dengan penganut Al-Azariqah lainnya.[40]
Anak-Anak di luar golongan al-Azariqah dihukumkan musyrik dan kekal di neraka. Mereka boleh membunuhnya. Sub-sekte ini juga tidak akan mengembalikan benda-benda amanah sekte lainnya. Negara atau pun daerah yang diduduki oleh selain al-Azariqah, dihukumi kafir dan diklaim sebagai wilayah perang (dar al-Harb).[41]
2.      Ash-Shufriyah Az-Ziyadiah
Pemimpinnya Ziyad ibn Asfar. Pandangannya lebih lunak dari al-Azariqah, namun paling ekstrim dari sub-sekte lainnya.[42] Sub-sekte ini berpendapat bahwa “taqiyah”, yakni menyembunyikan faham mereka hanya boleh dilakukan dengan perkataan tidak perbuatan. Wanita Islam di daerah kafir boleh menikah dengan orang kafir.[43]
3.      An-Najadaat Al-‘Aziriah
Pemimpinnya adalah Najdah ibnu Amir al-Hanafi. Semula golongan ini termasuk al-Azariqah. Akan tetapi, karena ada perbedaan pendapat akhirnya mereka memisahkan diri.[44] Pendiriannya yang dipandang ekstrim adalah dosa kecil akan menjadi besar apabila dikerjakan terus menerus dan yang mengerjakannya sendiri menjadi musyrik.[45]
4.      Al-‘Ajaridah
Pemimpinnya adalah Abdul Karim Ibnu Al-Ajrod. Golongan ini lebih lunak. Pendapatnya adalah hijrah bukanlah suatu keharusan tetapi hanya merupakan kebajikan.[46] Sub-sekte ini terpecah menjadi beberapa kelompok kecil yaitu ash-Shalthiah, al-Maimuniyah, al-Hamziyyah, al-Khallafiyah, al-Athrafiyyah, al-Syu’aibiyyah.[47]
5.      Al-‘Ibadhiyyah
Pemimpinnya adalah ‘Abdullah ibn Ibadh. Sub-sekte ini merupakan penganut paham khawarij yang paling moderat dan luwes serta paling dekat dengan paham Sunni. Pendapat mereka adalah orang yang berbeda paham dengan mereka bukan orang musyrik tetapi juga bukan orang mu’min. mereka menamakannya kafir akan nikmat bukan kafir akan keyakinan.[48]
Abdul Qahir sebagaimana yang tercantum dalam bukunya Taib Thahir Abdul Mu’in menambahkan bahwa ada sub-sekte Khawarij yang dianggap keluar dari Islam. Adapun sub-sekte yang dimaksud yaitu; Yazidiah, Maimuniah, Syabibyah.[49]

D.    Kondisi Sekte Khawarij Sekarang ini
Pada awalnya, sekte Khawarij merupakan salah satu sekte yang tersebar ke seluruh alam Islam dan menjadi oposisi berat pemerintahan Daulat Bani Umayyah (DBU). Bahkan, sekte  yang berkembang selama dua abad ini pula yang menyebabkan runtuhnya kekuasaan DBU.[50]
Dewasa ini, jika kita mencari sekte maupun sub-sekte ini dipenjuru dunia, sangatlah sulit. Bahkan, dalam bukunya Taib Thahir Abdul Mu’in disebutkan bahwa sekte ini telah lenyap.[51] Hal tersebut juga diamini oleh Muslim Ishak, namun ia mengemukakan untuk sub-sekte Ibadhiyyah masih ada sampai sekarang dan terdapat di Afrika Utara, Zanzibar, Oman, dan Arabia Selatan.[52]
Lenyapnya sekte ini di belahan bumi agaknya dikarenakan pandangan ekstrim yang mayoritas terdapat dalam sub-sekte ini. Sehingga, jika dibenturkan dengan abad yang sangat menjunjung tinggi hak asasi manusia ini, sekte tersebut sudah tidak relevan dan pastinya mendapatkan kecaman.
Akibatnya, jika sekte maupun sub-sekte ini masih ada, mereka menjadi “gerakan bawah tanah” yang tidak menunjukkan identitas asli. Sebagaimana yang diungkap oleh Ulil Abshar-Abdalla[53] bahwa kelompok-kelompok Islam modern yang memakai pendekatan teroretis adalah Khawarij modern.[54]
Jika dikaji lebih lanjut, hal itu memang masuk akal karena kemiripan prinsip dan tingkah laku antara khawarij klasik dan neo-khawarij. Dulu, di zaman klasik, ada kelompok Khawarij yang begitu radikal dan mudah sekali mengkafirkan musuh-musuhnya. Neo-Khawarij, seperti para teroris di Indonesia, juga tidak lebih dan tidak kurang seperti itu.

IV.       KESIMPULAN
Sekte Khawarij adalah sekte yang muncul sebagai pemberontak terhadap pemerintah karena khalifah yang sedang memegang tampuk pemerintahan dianggap telah menyeleweng.  Adapun aliran ini sudah mulai mencuat di akhir masa kepemimpinan Usman dan keadaan mereka semakin buruk pada masa pemerintahan Ali, yaitu sejak adanya tahkim (arbitrase).
Adapun prinsip mereka dalam masalah pengangkatan khalifah adalah demokratis dan orang yang melakukan penyelewengan terhadap aturan syar’i dianggap telah berdosa besar serta jika tidak mau bertaubat dihukumi kafir.
Akibat dari kegemaran berdebat dan mempertahankan argument, sekte ini terpecah-pecah menjadi beberapa sub-sekte. Diantaranya: Al-Azariqah,  Ash-Shufriyah Az-Ziyadiah, An-Najadaat Al-‘Aziriah, Al-‘Ajaridah, dan Al-Ibadhiyyah. Dewasa ini, sekte Khawarij berkembang menjadi neo-Khawarij yang merupakan kelompok-kelompok Islam modern yang memakai pendekatan teroretis.

V.          PENUTUP
Demikian makalah yang dapat penulis sajikan. Sebagai insan yang dlaif  tentunya masih banyak kekurangan dalam penulisan makalah ini. Oleh karena itu, kami sangat mengharapkan kritik dan saran dari pembaca sekalian guna perbaikan dan evaluasi.



[1] Ahmad Amin, Fadjar Islam, (Jakarta:Bulan  Bintang, 1968), hlm. 324
[2] Ketika wafatnya Rasullullah dan proses pengangkatan khalifah yang pertama tercatat ada tiga golongan yang berdebat tentang siapa yang lebih berhak menjadi pengganti Rasulullah SAW, yaitu golongan Anshar, Muhajirin, dan pendukung Ali ibn Abi Thalib, dapat dibaca lebih lanjut dalam Ahmad Amin, Fadjar Islam, (Jakarta:Bulan  Bintang, 1968), hlm. 324-326
[3] Menurut seorang sarjana Agama Islam terkemuka Indonesia, Islam klasik berlangsung selama 650-1250 M atau pada zaman Nabi sampai Dinasti Umayyah, dapat dibaca dalam Muslim Ishak, Sejarah dan Perkembangan Theologi Islam, (Semarang:Duta Grafika, 1988), cet. I, hlm. 1-5
[4] Muslim Ishak, Sejarah dan Perkembangan Theologi Islam, (Semarang:Duta Grafika, 1988), cet. I, hlm.5
[5] Ahmad Amin,op.cit., hlm. 326
[6] Harun Nasution, Teologi Islam Aliran-Aliran Sejarah Analisa Perbandingan, (Jakarta:UI-Press, 1986), cet. V, hlm. 12
[7] Ibid., hlm. 4
[8] Perang antara Ali dan Muawiyah  yang menuntut kepada Ali supaya menguhukum pembunuh-pembunuh Usman. Bahkan, Muawiyah menuduh Ali turut campur dalam pembunuhan itu. Terbukti dengan adanya Muhammad Ibn Abi Bakr, anak angkat Ali sekaligus pembunuh Usman, diangkat oleh Ali menjadi gubernur Mesir, dapat dibaca lebih lanjut dalam Harun Nasution, Teologi Islam Aliran-Aliran Sejarah Analisa Perbandingan, (Jakarta:UI-Press, 1986), cet. V, hlm.4-5
[9] Muslim Ishak, op.cit., hlm. 11
[10] Ibid., hlm. 8
[11] Asywadie Syukur, Al Milal wa Al Nihal, (Surabaya:Bina Ilmu, 2006), cet.I, hlm. 102
[12] Sebuah tempat yang hanya beberapa kilometer saja dari Kufah
[13] Abdul Aziz Dahlan, Sejarah Perkembangan dan Pemikiran dalam Islam Bagian I:Pemikiran Teologis, (Jakarta:Beunebi Cipta, 1987), cet.I, hlm. 36
[14] Ibid.
[15] Muslim Ishak, op.cit., hlm. 13
[16] Taib Thahir Abdul Mu’in, Ilmu Kalam, (Jakarta:Widjaya, 1975), cet.III, hlm. 98
[17] Asywadie Syukur, op.cit., hlm. 101
[18] Abdul Aziz Dahlan, op.cit., hlm. 37
[19] Muslim Ishak, op.cit., hlm. 13
[20] Merupakan gelar yang sangat dibenci oleh kelompok khawarij karena berarti golongan yang sesat.
[21] Abdul Aziz Dahlan, op.cit., hlm. 36-37
[22] Muslim Ishak, op.cit., hlm. 16
[23] Imam Muhammad Abu Zahrah, Aliran Politik dan ‘Aqidah dalam Islam, (Jakarta:Logos, 1996), cet.I, hlm.74-78
[24] Ali Ahmad, Imamah dan Khilafah dalam Tinjauan Syari, (Jakarta:Gema Insani Pers, 1997), cet.I, hlm. 32
[25] Muslik Ishak, op.cit., hlm.15
[26] Imam Muhammad Abu Zahrah, op.cit., hlm. 68
[27] Saifudin al-Amidi, Hasan Mahmud Abd al-Lathif (Tahqiq), Ghayatul Maram fi Ilmil Kalam, (Jumhuriyat al-‘Arabiyat al-Muttahidat: al-Majlis al-A’la li al-Syuunin al-Islamiyat lajnat Ihyai al-Turats al-Islamiy), hlm. 364
[28] Imam Muhammad Abu Zahrah, op.cit., hlm. 69
[29] Taib Thahir Abdul Mu’in, op.cit., hlm. 98
[30] Ali Ahmad, op.cit., hlm.32
[31] Taib Thahir Abdul Mu’in, op.cit., loc.cit.
[32] Ibid, hal ini dapat dibaca pula dalam Ahmad Amin, Fadjar Islam, (Jakarta:Bulan  Bintang, 1968), hlm. 329
[33] Muslim Ishak, op.cit., hlm. 11
[34] Abdul Aziz Dahlan, op.cit., hlm. 40-42, dapat juga dibaca dalam Abu Zahrah, hlm. 70-71
[35] Imam Muhammad Abu Zahrah, op.cit., hlm. 71
[36] Abdul Aziz Dahlan, op.cit., hlm. 38
[37] Muslim Ishak, op.cit., hlm. 16
[38] Imam Muhammad Abu Zahrah, op.cit., hlm. 78
[39] Ahmad Amin,op.cit., hlm.333, dapat juga dibaca dalam Asywadie Syukur, Al-Milal wa al-Nihal, (Surabaya:Bina Ilmu, 2006), hlm.105-108
[40] Taib Thahir Abdul Mu’in, op.cit., hlm. 99
[41] Abu Zahrah, op.cit., hlm. 79
[42] Ibid, hlm. 81
[43] Muslim Ishak, op.cit., hlm. 18
[44] Asyawadie Syukur, op.cit., hlm.108-109
[45] Muslim Ishak, op.cit., hlm. 17
[46] Ibid., hlm. 18
[47] Asywadie Syukur, op.cit., hlm. 114-117
[48] Imam Muhammad Abu Zahrah, op.cit., hlm. 83-84
[49] Taib Thahir Abdul Mu’in, op.cit., hlm. 99-100, dapat juga dibaca dalam Imam Muhammad Abu Zahrah, Aliran Politik dan ‘Aqidah dalam Islam, (Jakarta:Logos, 1996), cet.I, hlm. 84-85
[50] Ibid, hlm.98
[51] Ibid.
[52] Muslim Ishak, op.cit., hlm. 19
[53] Seorang tokoh Islam Liberal di Indonesia
[54] Ulil Abshar-Abdalla, Khawarij Modern, http://islamlib.com/id/artikel/khawarij-modern/, diunduh pada  16 November 2010, pukul:14.15 WIB


DAFTAR PUSTAKA


Ahmad, Ali.1997.Imamah dan Khilafah dalam Tinjauan Syari.Jakarta:Gema Insani Pers.

Al-Amidi, Saifudin, Hasan Mahmud Abd al-Lathif (Tahqiq).Ghayatul Maram fi Ilmil Kalam.Jumhuriyat al-‘Arabiyat al-Muttahidat: al-Majlis al-A’la li al-Syuunin al-Islamiyat lajnat Ihyai al-Turats al-Islamiy

Amin, Ahmad.1968.Fadjar Islam.Jakarta:Bulan  Bintang.

Dahlan, Abdul Aziz.1987.Sejarah Perkembangan dan Pemikiran dalam Islam Bagian I:Pemikiran Teologis.Jakarta:Beunebi Cipta.

Ishak, Muslim.1988.Sejarah dan Perkembangan Theologi Islam.Semarang:Duta Grafika.

Mu’in, Taib Thahir Abdul.1996.Ilmu Kalam.Jakarta:Widjaya.

Nasution, Harun.1986.Teologi Islam Aliran-Aliran Sejarah Analisa Perbandingan.Jakarta:UI-Press.

Syukur, Asywadie.2006.Al Milal wa Al Nihal.Surabaya:Bina Ilmu.

Zahrah, Imam Muhammad Abu.1996.Aliran Politik dan ‘Aqidah dalam Islam.Jakarta:Logos.

Abshar-Abdalla, Ulil.Khawarij Modern.http://islamlib.com/id/artikel/khawarij-modern/, diunduh pada  16 November 2010, pukul:14.15 WIB