PERKEMBANGAN IJTIHAD PADA MASA AWAL ISLAM


PERKEMBANGAN IJTIHAD PADA MASA AWAL ISLAM

MAKALAH

Disusun untuk Memenuhi Tugas
Mata Kuliah: Ushul Fikih
Dosen: Amin Farih, M.Ag.







                                                                                          




Oleh :
ROFIQO RAHMAWATI (093511033)
AFRIDATUL ADKHIYAH (093811004)


FAKULTAS TARBIYAH
INSTITUT AGAMA ISLAM NEGERI WALISONGO SEMARANG
2011


PERKEMBANGAN IJTIHAD PADA MASA AWAL ISLAM

I.             PENDAHULUAN
Umum diterima bahwa wahyu yang termuat dalam Al-Qur’an sifatnya ada yang masih global dan abstrak. Tidak mudah memahaminya secara konkretonya. Misalnya, perintah sholat, perintah puasa, perintah membagi warisan. Perintah dan petunjuk-petunjuk itu semua bagi kita adalah sulit diketahui bagaimana wujudnya dalam konkreto. Padahal, bagi mereka yang beriman maka perintah-perintah itu harus dilaksanakan bila tidak akan terkena murka Allah SWT.
Sehubungan dengan itu, diperlukan pengolahan untuk mendapatkan kandungan yang konkret dan praktis sehingga tinggal menggunakannya. Dengan kata lain, Al-Qur’an itu perlu dibuat operasional yang tegas, jelas, serta konsekuen mengikuti isi kandungan perintah tersebut agar menghasilkan sebuah produk yang tinggal diaplikasikan. Produk dari operasionalisasi inilah yang biasanya disebut dengan fikih/ hukum.

II.          RUMUSAN MASALAH
Berdasarkan pemaparan di atas, ada beberapa hal yang cukup urgen dipertanyakan sebagai wujud keingintahuan terhadap hal tersebut. Diantaranya;
a.       Bagaimana proses pembentukan hukum pada masa Nabi Muhammad SAW & sahabat?
b.      Bagaimana perkembangan fikih dan ijtihad pada masa Nabi Muhammad SAW & sahabat?

III.       PEMBAHASAN
A.    Proses Pembentukan Hukum pada Masa Nabi Muhammad SAW & Sahabat
Istilah hukum di Indonesia sudah tidak asing lagi. Bahkan, istilah tersebut diidentikkan dengan fikih. Sedangkan fikih sendiri, dalam bahasa kita sering dibaurkan dengan istilah lain yang dianggap seolah-olah benar-benar sebagai sesuatu hal yang sama. Istilah lain tersebut yaitu: Hukum Islam  dan Hukum Syari’at.
Tetapi, untuk suatu studi ilmiah, ketepatan dan kepastian suatu konsep itu diperlukan. Pembauran segala istilah sebagai pernyataan sesuatu konsep akan menjadi persoalan yang berat. Oleh karena itu, pembahasan pada sub bab ini dimulai dengan mengemukakan suatu pandangan yang menyelesaikan terlebih dahulu keambiguan istilah-istilah diatas.
Di dalam lingkungan bahasa hukum kita, dikenal apa yang dinamakan Hukum Islam. Dalam kurikulum Fakultas Hukum di Indonesia, yang dimaksud dengan mata kuliah hukum Islam adalah mata kuliah yang memelihara pengetahuan peraturan-peraturan subtansiil mengenai suatu persoalan hukum yaitu seperti ibadah, dinayah, muamalat. Di sini, hukum Islam diberi arti sebagai salah satu cabang Hukum Positif yang ada di Indonesia.[1]
Akan tetapi, menurut Moh.Koesnoe, pemberian nama Hukum Islam yang demikian itu, dalam intinya menimbulkan kebingungan dan kegaduhan dengan Islam itu sendiri. Alasannya, Hukum Positif adalah hukum buatan manusia, sedang hukum Islam sejauh arti kata yang termuat di dalamnya adalah hukum dari Islam. Sedang Islam bukan buatan manusia, tetapi wahyu yang diturunkan oleh Allah SWT kepada Rasullullah yang hanya kini kita temukan dalam kitab suci Al-Qur’an. Hukum yang ada di situlah yang setepatnya dapat dikatakan sebagai Hukum Islam, atau juga disebut syari’at.[2]
Dengan begitu, Hukum Islam sama dengan Hukum Syari’at atau Syari’at Islam, ringkasnya disebut syari’at. Pengertian tersebut murninya hanya menunujuk kepada wahyu di dalam Al-Qur’an.  Sedangkan fikih atau yang kadang-kadang dalam bahasa Hukum kita disebut Hukum Positif, ringkasnya disebut hukum adalah penjabaran dari syai’at itu sendiri.  
Sebagaimana yang telah disebutkan di atas bahwa Al-Qur’an itu ayat-ayatnya ada yang masih global dan abstrak sehingga perlu dibuat operasional yang tegas, jelas serta konsekuen mengikuti isi kandungan perintah tersebut. Operasionalisasi normatif itu adalah operasionalisasi yang normalogis.
Pada masa Rasullullah masih hidup, pembentukan operasionalisasi dari Al-Qur’an diberikan dan dilaksanakan oleh Rasulullah sendiri. Hal itu dilaksanakan baik dengan jalan menjelaskan dengan kata-kata dan kalimat-kalimat, dengan memberikan contoh dalam berbuat secara fisik, dan dapat pula dalam bentuk mendiamkan sesuatu perbuatan yang dilakukan oleh orang lain, sekalipun perbuatan itu ada kaitannya dengan isi perintah Al-Qur’an. Ketiga cara membuat syari’at yang abstrak dan umum itu menjadi operasional normatif, oleh rasul dilakukan dengan menyatakan dalam bentuk qaul, fiil, atau sukut.[3]
Operasionalisasi normalogis disini perlu dibedakan dengan operasionalisasi biasa. Operasionalisasi biasa, adalah seperti merinci sesuai dengan waktu tempat dan keadaan. Akan tetapi, dalam hal operasionalisasi normalogis adalah membuat keadaan dapat dimasukkan kedalam sistem kemauan atau perintah yang dimaksud. Olah karena itu, jika dikatakan bahwa Rasullullah menggarap perintah-perintah syari’at secara operasionalisasi normalogis, dengan jalan memberikan dalam bentuk qaul, fiil, atau sukut, maka berarti bahwa itu semua oleh Rasullullah digarap sesuai dengan kemauan dan perintah wahyu yang diterimanya dalam wujud ayat Al-Qur’an.[4]
Semasa Rasullullah masih hidup, ayat-ayat Al-Qur’an yang isinya memerintah itu sebagai syari’at Islam, penggarapannya Rasullullah bukan atas perhitungan terhadap tuntutan keadaan, serta kemampuan Rasullullah secara teknis melaksanakannya. Rasullullah dalam hal itu masih didalam bimbingan Allah SWT melalui wahyu yang merupakan penjelasan. Sekali lagi, wahyu yang menjelaskan, yang mengoperasionalkan. [5]
Salah satu contoh adalah tentang perintah mendirikan shalat. Untuk itu, Rasullullah harus terlebih dahulu menghadap Allah dengan jalan Mi’raj dan baru setelah itu dapat menunjukkan bagaimana shalat lima waktu itu harus dilaksanakan secara nyata.
Pada masa Rasullullah hidup, persoalan penerapan secara konkret perintah syari’at di dalam al-Qur’an itu sudah menjadi persoalan. Dalam hal ini Rasullullah mengajarkan, juga atas dasar petunjuk allah SWT, bahwa dalam hal tidak diketahui bagaimana menjalankannya, maka orang yang dipandang mampu, wajib menjalankannya dengan menggunakan akalnya secara sebaik-baiknya dan sesungguh-sungguhnya, artinya dengan tekun dan serius menjalankan apa yang disebut ijtihad. Dari ajaran Rasullullah tersebut yaitu: terkenal dalam peristiwa Muadz[6] yang diangkat menjadi pembesar jauh diluar Mekah.
Ijtihad sebagai lembaga sudah dimasukkan ke dalam suatu teknik bagaimana membuat operasional syari’at yang tertera didalam Al-Qur’an. Sejak itu, sudah terlihat bahwa penggarapan syari’at, atau Hukum Islam yang berwujud wahyu, dan yang sifatnya tertera di dalam Al-Qur’an, paling pertama taraf operaionalisasinya dilakukan dengan mempergunakan wahyu yang sifatnya menjelaskan. Wahyu ini hanya daripada Rasullullah dan dewasa ini dikenal dengan nama sunnah/ hadis Rasul.[7]
Pada masa Rasullullah, beliau sudah mengetahui bahwa sunah/ hadis yang dikeluarkannya sebagai penjelasan Al-Qur’an dapat terbatas sifatnya, karena ikatan waktu, tempat, dan keadaan. Mengenai hal ini contoh-contoh dalam hadis/ sunahnya itu hanya konkret secara sungguh-sungguh di dalam Rasullullah berada yaitu Makkah dan Madinah, pada masa itu (waktu itu), dan dalam suasana seperti itu pla. Tetapi, ditempat lain dalam suasana lain, dan waktu yang lain, pasti dituntut untuk konkritisasi yang lain.  Untuk itu maka diperkenalkan petunjuk untuk mempergunakan akal, yang kemudian dikenal dengan nama ijtihad.
Secara ringkas, pada masa Rasullullah masih hidup, Hukum Islam yang ada dalam Al-Qur’an konkritisasinya melalui dua tahap yaitu:[8]
1.      tahap pertama: penjelasan langsung melalui wahyu kepada Rasullullah, dan kemudian beliau meneruskannya kepada umat dengan tiga bentuk, yaitu: qaul, fiil, atau sukut.
2.      tahap kedua: dengan berpegangan pada penjelasan Rasul di atas, mengolah lebih lanjut dengan akal, dalam menghadapi tuntutan tempat, waktu, dan keadaan yang berlainan.
Dengan demikian, di daerah yang jauh dari tempat kedudukan Rasullullah pada masa hidup Rasullullah, penerapan hukum Islam macamnya, yaitu: Pertama, langsung dilakukan Rasullullah dengan berpegangan wahyu yang diterima. Kedua, dilakukan oleh orang Islam yang cakap dan dapat dipercaya dengan berpegangan kepada ajaran Rasullullah.
Setelah Rasullullah wafat, penggarapan hukum Islam mengalami keadaan yang lain. Macam penggarapan yang pertama sudah tidak mungkin lagi. Orang hanya mengingat-ingat bagaimana jalan yang ditunjukkan oleh Rasullullah selama masih hidup.
Hal tersebut mendorong untuk lambat laun mengetahui dengan kesungguhan dan kecermatan berhubung dengan rasa tanggung jawabyang besar dari pemimpin Islam untuk menegakkan Hukum Islam dalam kehidupan praktis. Hasil penggarapan praktis sejak saat itu menjadi bahan penting pula untuk penggarapan selanjutnya secara detail Hukum Islam. Dalam suasana ini penggarapan melalui akal menjadi lebih penting.
Penggarapan lebih lanjut dengan menggunakan akal tersebut lah yang disebut dengan ijtihad. Setelah Rasullullah wafat, ijtihad tetap berkedudukan sebagaimana petunjuk Rasullullah, yaitu merupakan kegiatan untuk operasionalisasi normalogis Hukum Islam. Penggarapan secara ini dituntut secara lebih berat, berhubung tempat, waktu dan keadaan semakin lama semakin berlaianan secara mencolok, jika dibandingkan dengan semasa hidup Rasullullah. [9]
Sejarah perkembangan alam pikiran Islam menacatat bahwa sepeninggal Rasullullah SAW, para sahabat nabi juga melakukan ijtihad dalam hal-hal yang disebutkan di dalam Al-Qur;an dan Sunnah. Mereka berijtihad dalam memahami nash-nash, mendalami makna, yang tersirat dibalik kata-kata yang terdapat dalam nash. Bahkan, kata-katanya pun kemudian juga menjadi bahan pemikiran yang mengakibatkan terjadinya perbedaan pendapat.
Sekedar untuk contoh, pada masa pemerintahan khalifah Abu Bakar r.a. terjadi perbedaan pendapat tentang pemahaman terhadap Sunnah yang menjamin keselamatan jiwa dan harta orang yang telah menyatakan dua kalimah syahadat. Sehingga, ketika tejadi gerakan riddah (pembangkangan) yang dilakukan oleh beberapa kabilah antara lain kabilah ‘Abs dan Dzubyan yang berdiam dekat dengan kota Madinah, khalifah mengundang para sahabat besar untuk bermusyawarah. Dalam musyawarah tersebut, banyak yang menyatakan agar mereka jangan diperangi karena masih menyatakan dua kalimah syahadat. Tetapi akhirnya, khalifah mengambil ketetapan untuk jiban yang dituntut oleh syahadat yang mereka ucapkan. [10]
Pada nash-nash makin banyak yang dilakukan. Hal tersebut dikarenakan makin banyaknya masalah baru yang dihadapi masyarakat. Misalnya, ketentuan Al-Qur’an (9, 60) tentang orang muallaf termasuk yang berhak menerima zakat, yaitu yang tertuju kepada orang-orang kafir yang dilunakkan hatinya agar jangan terus memusuhi Islam, oleh Khalifah Umar tidak dilaksanakan, dengan alasan ‘illat hukumnya telah tiada lagi. Menurut ijtihad Khalifah meneriama zakat dengan ‘illat bahwa pada masa permulaan Islam masih lemah. Setelah massanya Islam menjadi kuat, tidak perlu lagi melunakkan hati orang-orang kafir yang memusuhi Islam. Jika mereka masih memusuhi, akan ditumpas.[11]
Selanjutnya, ketentuan Al-Qur’an (5:5) tentang kebolehan laki-laki muslim kawin dengan perempuan ahli kitab tidak dilaksanakan terhadap Gubernur Hudzaifah bin Yaman di Madain, dengan pertimbangan jangan samapai menimbulkan fitnah terhadap jabatannya sebagai Gubernur dan terhadap Umat Islam. Masih banyak yang dapat disebutkan jika akan dikemukakan contoh-contoh ijtihad terhadap nash pada masa khalifah Umar ibn Khattab.[12]

B.     Perkembangan Fikih dan Ijtihad pada Masa Nabi Muhammad SAW & Sahabat
1.      Fikih dan Ijtihad Pada Masa Nabi Muhammad SAW
Dalam sejarah Islam telah diketahui bahwa dalam masa kenabian terdapat dua periode yaitu periode Makkah dan Madinah yang keduanya ada penurunan syari’at. Oleh karena itu, masa ini disebut asrut tasyri’ (masa turunnya syari’at).
Adapun perbedaannya, jika dalam periode Makkah mayoritas syari’at yang turun adalah masalah tauhid sedangkan periode Madinah masalahnya sudah kompleks mencakup segala ruang lingkup manusia, termasuk muamalat dan saintek.
Meskipun masa kenabian merupakan asrut tasyri’, tetapi pemahaman fikih telah berwujud secara faktual. Sebagaimana yang telah penulis sebutkan diatas bahwa pada dasarnya fikih itu merupakan penjabaran dari syari’at.
Pada masa ini, Nabi dan para sahabat berusaha menjabarkan syari’at yang terkesan masih global. Hanya saja keadaannya masih sederhana, yaitu berupa pengenalan terhadap hukum-hukum Islam dalam ruang dan waktu tertentu. Memang beberapa sahabat pernah mencoba mengangkat permasalahan fikih praktis ketika tidak bersama nabi, namun selain jarang terjadi, intensitasnya juga sangat kecil. Seperti kita tahu, para sahabat jarang sekali menanyakan ketentuan hukum sehingga banyak perbuatan yang saat itu hanya diterima tanpa mendpat penjelasan. Karena itu, pada masa ini keadaan fikih lebih merupakan kerangka dasar untuk suatu perumusan lebih lanjut.[13]
Menyoal tentang fikih, bila kita memahami pengertian fikih itu sebagai hasil penalaran seorang ahli atas maksud hukum Allah, maka timbul pertanyaan apakah Nabi Muhammad SAW melakukan ijtihad? Persoalan ini masih terjadi ikhtilaf di kalangan ulama.
Sebagian ulama berargumen bahwa nabi telah berijtihad dan sebagiannya lagi tidak. Perbedaan pendapat itu berpangkal pada pemahaman ayat 3-4 surat al-Najm (53). Ada ulama yang memahami ayat di atas secara umum, bahwa semua yang diucapkan Nabi dalam usahanya memberi penjelasan atas ayat hukum atau bukan adalah atas dasar wahyu. Sedangkan ulama lain memahaminya bahwa yang dimaksud ayat itu adalah ayat-ayat Al-Qur’an yang diterima Nabi dan disampaikannya kepada umatnya; itulah yang disebut wahyu. Tetapi tidak semua lisan nabi disebut wahyu. Akibatnya berkembang pada boleh atau mungkin tidaknya nabi berijtihad.[14]
Menanggapi hal di atas, Amir Syarifuddin cenderung berpihak kepada tidak semua yang muncul dari lisan nabi itu dibimbing wahyu. Ia juga berpendapat, dalam kenyataan memang Nabi pernah berijtihad untuk memahami dan menjalankan wahyu Allah dalam hal-hal yang memerlukan penjelasan dari Nabi yang sebagiannya dibimbing wahyu. Dalam hal-hal yang tidak mendapat koreksi dari Allah maka hal itu muncul sebagai Sunnah Nabi yang wajib dita’ati. Dengan demikian, sebagian sunah Nabi adalah berdasarkan ijtihadnya.[15]
Senada denagan hal tersebut, Mun’im A. Sirry dengan tegas melebarkan ruang ijtihad Nabi. Ia tidak segan-segan menyebut nabi telah berijtihad pada persoalan yang menyangkut kemaslahatan dunia dan strategi perang, seperti pada penemapatan pasukan perang badar yang dilakukan oleh Hubbab ibn Mundzir[16], akan tetapi sudah berani memasukkan ranah syar’iyah. Padahal, Ibnu Hazm, Dhahiriyah, dan Abu Ali serta Abu Hasyim dari pihak Mu’tazilah berpendapat bahwa nabi tidak berijtihad pada ranah tersebut.
Alasannya adalah ijtihad Nabi terhadap kasus tawanan perang Badar dan keengganan para prajurit Islam untuk jihad dalam perang tabuk.[17] Dalam kasus tersebut jelas menyatakan bahwa nabi melakukan ijtihad terhadap suatu peristiwa yang tidak ada ketentuan hukumnya, dan lamanya Nabi menunggu turunnya wahyu merupakan justifikasi dari Al-Qur’an. Dengan kata lain, yang mungkin dikatakan dalam persoalan tersebut adalah bahwa  pendapat yang direalisasikan oleh Nabi berbeda dengan yang ‘lebih utama’, bukan menentang nash. Menentang nash itu berarti telah ada nash, sedangkan dalam peristiwa itu tidak ada nash. [18]
Kedua pandangan di atas, jelas menyatakan kalau nabi telah melakukan ijtihad semasa hidupnya. Apalagi, jika kita tinjau ulang dalam pembahasan kita sebelumnya maka akan kita dapati bahwa Rasul telah menyuruh sahabat menggunakan akalnya secara sungguh-sungguh jika ada persoalan yang tidak ditemui dalam Al-Quran dan Sunnah.[19] 
Hal di atas jelas meruntuhkan argumen yang menyatakan bahwa Nabi tidak berijtihad. Bagaimana mungkin seseorang menyuruh orang lain melakukan pekerjaan dengan menggunakan sebuah alat jika ia tidak paham betul alat apa yang telah ia rekomendasikan itu? Kecil kemungkinan seseorang yang paham betul akan sebuah alat yang memberikan kemanfaatan tidak digunakan, dengan kata lain di sia-siakan. Hanya orang bodoh yang akan melakukan seperti itu. Padahal kita ketahui bahwa mustahil Rasul bersifat bodoh.
Dengan demikian, dapat disimpulkan bahwa fikih sudah mulai ada semenjak Nabi masih hidup dan nabi pun telah melakukan ijtihad untuk menghasilkan fikih tersebut. Akan tetapi, keberhasilan Nabi dan para sahabat dalam menyikapi hukum Islam pada masa ini lebih merupakan kerangka dasar untuk kajian-kajian fikih pada era berikutnya.
2.      Fikih dan Ijtihad Pada Masa Sahabat
Setelah wafatnya Rasulullah SAW, kehidupan fikih tidak lah ikut redup. Justru sebaliknya, fikih mengalami perkembangan. Semakin lebarnya daerah Islam dengan masalah kultural, tradisi, situasi dan kondisi yang berbeda-beda, menghadang para fuqoha untuk memberikan hukum pada persoalan-persoalan baru yang muncul dikemudian hari.
Secara sistematis, Amir syarifuddin mengungkapkan bahwa ada 3 hal pokok yang berkembang pada masa ini sehubungan dengan hukum dan memerlukan pemikiran mendalam atau nalar dari para ahli, pendek katanya disebut dengan ijtihad. [20]
Adapun 3 hal pokok tersebut adalah:[21]
a.       Banyak bermunculan kejadian baru yang membutuhakan jawaban hukum secara lahiriah tidak dapat ditemukan jawabannya dalam Al-Qur’an. Maupun Sunnah Nabi.
b.      Timbulnya masalah-masalah yang secara lahir telah diatur oleh ketentuan hukumnya dalam Al-Qur’an maupun Sunnah, namun ketentuan itu terlalu sulit untuk diterapkan dan menghendaki  pemahaman baru agar relevan dengan perkembangan dan persoalan yang dihadapi.
c.       Di dalam Al-Qur’an ditemukan penjelasan terhadap suatu kejadian secara jelas dan terpisah. Bila hal tersebut berlaku dalam kejadian tertentu, para sahabat menemukan kesulitan dalam menerapkan dalil-dalil yang ada.
Dalam menghadapi masalah tersebut, berkembanglah pemikiran sahabat.[22]
Pemikiran tersebut pada akhirnya menghasilkan pihak-pihak yang berbeda dan masing-masing diikuti para pengikutnya. Perbedaan ini pada umumnya disebabkan oleh karena tidak adanya petunjuk yang pasti dari Al-Qur’an dan tidak ada pula penjelasan dari Nabi.
Akan tetapi, patut dicatat dalam kesempatan ini, bahwa perbedaan pendapat tersebut dianggap sebagi suatu hal yang wajar dan bahkan justru perlu dikembangkan. Tidak ada sahabatnya yang memaksakan pendapatnya kepada orang lain. Kebebasan berpendapat tanpa tendensi untuk kepentingan pribadi maupun kelompok ini telah melahirkan suatu kekuatan moral Islam yang secara sungguh-sungguh berusaha melihat relevansi Islam dengan persoalan-persoalan yang terus berkembang dan senantiasa meminta etika dan paradigma baru.[23]
Dengan demikian dapat disimpulkan bahwa pada masa ini fikih masih tetap seperti periode pertama, meskipun perluasan wilayah Islam menghadirkan tuntutan bagi perkembangan fikih. Selain itu, Selain al-Qur’an dan Sunnah, ijtihad juga menjadi rujukan pada masa ini. Ruang lingkup ijtihad yang dilakukan para fuqoha pun cukup luas, terdapat kebebasan berpikir.

IV.       KESIMPULAN
Pada masa Rasullullah masih hidup, Hukum Islam yang ada dalam Al-Qur’an konkritisasinya melalui dua tahap yaitu:[24]
1.      tahap pertama: penjelasan langsung melalui wahyu kepada Rasullullah, dan kemudian beliau meneruskannya kepada umat dengan tiga bentuk, yaitu: qaul, fiil, atau sukut.
2.      tahap kedua: dengan berpegangan pada penjelasan Rasul di atas, mengolah lebih lanjut dengan akal, dalam menghadapi tuntutan tempat, waktu, dan keadaan yang berlainan.
Sepeninggal Rasullullah SAW, para sahabat juga melakukan ijtihad dalam hal-hal yang disebutkan di dalam Al-Qur;an dan Sunnah. Mereka berijtihad dalam memahami nash-nash, mendalami makna, yang tersirat dibalik kata-kata yang terdapat dalam nash. Bahkan, kata-katanya pun kemudian juga menjadi bahan pemikiran yang mengakibatkan terjadinya perbedaan pendapat.
Fikih sudah mulai ada semenjak Nabi masih hidup dan nabi pun telah melakukan ijtihad untuk menghasilkan fikih tersebut. Akan tetapi, keberhasilan Nabi dan para sahabat dalam menyikapi hukum Islam pada masa ini lebih merupakan kerangka dasar untuk kajian-kajian fikih pada era berikutnya. Pada masa sahabat fikih masih tetap seperti periode pertama, meskipun perluasan wilayah Islam menghadirkan tuntutan bagi perkembangan fikih. Selain itu, Selain al-Qur’an dan Sunnah, ijtihad juga menjadi rujukan pada masa ini. Ruang lingkup ijtihad yang dilakaukan para fuqoha pun cukup luas, terdapat kebebasan berpikir.

V.          PENUTUP
Demikian makalah yang dapat kami sampaikan. Sebagai insan yang dlaif  tentunya masih banyak kekurangan dalam penulisan makalah ini. Kritik dan saran sangat kami harapkan dari pembaca sekalian untuk perbaikan dan evaluasi dari apa yang penulis dapat sajikan.



[1] Moh. Koesnoe, “Hukum Fiqh dan Pengeterapannya di Indonesia”, dalam Pembangunan Hukum dan Perkembangan Fiqih di Indonesia, (Surabaya:IAIN Sunan Ampel, 1986), hlm, 62
[2] Ibid.
[3] Ibid., hlm. 63
[4] Ibid., hlm. 63-64
[5] Muin Umar dkk., Ushul Fiqh, (Jakarta:IAIN Jakarta, 1985), hlm.9
[6] Lihat Mun’im A. Sirry, Sejarah Fiqih Islam:Sebuah pengantar, (Surabaya:Risalah Gusti, 1996), cet. II, hlm. 30-31
[7] Moh. Koesnoe, op.cit., hlm. 64
[8] Ibid., hlm. 65
[9] Ibid.,
[10] Ahmad Azhar Basyir, “Pola Dasar Pemikiran tentang Fiqih Islam yang Menjamin Kelenturan Perkembangannya”, dalam Pembangunan Hukum dan Perkembangan Fiqih di Indonesia, (Surabaya:IAIN Sunan Ampel, 1986), hlm. 116
[11] Ibid., hlm. 116-117
[12] Ibid., hlm.  117
[13] Mun’im A. sirry, Sejarah Fiqih Islam:Sebuah pengantar, (Surabaya:Risalah Gusti, 1996), cet. II, hlm. 32
[14] Amir syarifuddin, Ushul Fiqh Jilid 1, (Jakarta:Logos Wacana Ilmu, 1997), cet. I, hlm. 6-7
[15] Ibid., hlm. 9
[16] Lihat Mun’im A. Sirry, Sejarah Fiqih Islam:Sebuah pengantar, (Surabaya:Risalah Gusti, 1996), cet. II, hlm. 28-29
[17] Lihat Mun’im A. Sirry, Sejarah Fiqih Islam:Sebuah pengantar, (Surabaya:Risalah Gusti, 1996), cet. II, hlm 29-30
[18] Mun’im A. Sirry, op.cit., hlm. 30
[19] Peristiwa Muadz. Baca Moh. Koesnoe, “Hukum Fiqh dan Pengeterapannya di Indonesia”, dalam Pembangunan Hukum dan Perkembangan Fiqih di Indonesia, (Surabaya:IAIN Sunan Ampel, 1986), hlm 64. Demikian juga lihat Mun’im A. Sirry, Sejarah Fiqih Islam:Sebuah pengantar, (Surabaya:Risalah Gusti, 1996), cet. II, hlm. 30-31
[20] Amir Syarifuddin, op.cit., hlm. 22
[21] Ibid.
[22] Lihat Amir syarifuddin, Ushul Fiqh Jilid 1, (Jakarta:Logos Wacana Ilmu, 1997), cet. I, hlm. 22-28
[23] Mun’im A. Sirry, op.cit., hlm. 39
[24] Moh, koesnoe, op.cit., hlm. 65


DAFTAR PUSTAKA



Koesnoe, Moh., dkk.1986.Pembangunan Hukum dan Perkembangan Fiqih di Indonesia.Surabaya:IAIN Sunan Ampel.

Sirry, Mun’im A.1996.Sejarah Fiqih Islam:Sebuah pengantar.Surabaya:Risalah Gusti.

Syarifuddin, Amir.Ushul Fiqh Jilid 1.1997.Jakarta:Logos Wacana Ilmu.

Umar, Muin, dkk.1985.Ushul Fiqh.Jakarta:IAIN Jakarta.